Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Kamis, 11 Agustus 2011

IMPLIKASI NILAI NILAI AKADEMISI DALAM RANGKA MENYUSUN KEBIJAKAN


A.    LATAR BELAKANG

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Pemikiran-pemikiran tentang konsep Negara Hukum sebelum konsep Negara Hukum berkembang seperti sekarang ini, diantaranya dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini:
a. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang Negara hukum. Dalam nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik  adalah  yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.
b. Aristoteles mengemukakan ide Negara hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersifat adil. Apabila keadaan semacam itu telah terwujud, maka terciptalah suatu negara hukum”, karena tujuan Negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.
c.  Machiavelli, seorang sejarawan dan ahli Negara telah menulis bukunya yang terkenal ”II Prinsipe (The Prince)” , mengemukakan dalam usaha untuk mewujudkan supaya suatu Negara menjadi suatu Negara nasional, raja harus merasa dirinya tidak terikat oleh norma-norma agama atau pun norma-norma akhlak. Raja dianjurkan supaya jangan berjuang dengan mentaati hukum; raja harus menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti halnya juga binatang.
d. Jean Bodin juga menganjurkan absolutisme raja. Beliau berpendapat bahwa dasar pemerintah absolut terletak dalam kedaulatan yaitu kekuasaan raja yang superior.
e. Thomas Hobbes dalam teorinya yaitu teori Hobbes, perjanjian masyarakat yang tidak dipakai untuk membangun masyarakat (civitas) melainkan untuk membentuk kekuasaan yang disebabkan kepada raja. Jadi raja bukan menerima kekuasan dari masyarakat melainkan ia memperoleh wewenang dan kuasanya kepada raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.
Perlawanan terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja secara konkret dilaksanakan dengan memperjuangkan sistem konstitusional, yaitu system pemerintahan yang berdasarkan konstitusi. Pemerintahan tidak boleh dilakukan menurut kehendak raja saja, melainkan harus didasarkan pada hukum konstitusi. Perjuangan konstitusional yang membatasi kekuasaan raja banyak dipengaruhi oleh berbagai perkembangan, diantaranya:
a. Reformasi
b. Renaissance
c. Hukum Kodrat
d.Timbulnya kaum bourgeoisi beserta aliran Pencerahan Akal   
   (Aufklarung).

Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat, lahir pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara Hukum.
Indonesia  sebagai negara yang besar menempatkan hukum sebagai panglima, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan diatur berdasarkan hukum yang telah ditetapkan. Hal ini terlihat dari : 
a.       Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah Negara Hukum;
b.      Pembukaan dicantumkan kata-kata: Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
c.       Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum, dan tidak ada kecualinya;
d.      Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
e.       Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
f.       Bab X A,  Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan;
g.      Sistem hukum yang bersifat nasional;
h.      Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
i.        Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan;
j.        Adanya peradilan bebas.
k.      BAB VI Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pasal 136  sampai pasal 150.
Setelah mengalami beberapa pengembangan pemikiran, konsep negara hukum kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum di antaranya:
a.       Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b.      Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
c.       Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d.      Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e.       Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
f.       Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g.      Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
h.      Desentralisasi
i.        Dekonsentrasi
j.        Tugas Pembantuan


B.     POKOK MASALAH

1.        Perlunya naskah akademik dalam penyusunan kebijakan
2.        Kebijakan belum merujuk pada aturan perundang undangan


C.    PEMECAHAN MASALAH

1.        Naskah Akademik Dalam Penyusunan Kebijakan
Keberadaan naskah akademik dalam penyusunan kebijakan seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati serta Keputusan Bupati memang tidak diatur secara resmi dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia seperti pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara eksplisit tidak mengatur mengenai Naskah Akademik sebelum penyusunan suatu peraturan perundang-undangan.
Yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut adalah mengenai keterlibatan pihak lain di luar lembaga legislatif dan eksekutif dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini disebut dengan partisipasi masyarakat. Pada pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan :
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah.”
Tapi, sebagai bahan “acuan” kepentingan penyusunan naskah akademik ini dapat mengacu pada Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Di dalam Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan bahwa :
”Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang”
Dalam Peraturan Presiden ini juga  dijelaskan bahwa keberadaan naskah akademik adalah “dapat” yang berarti bahwa boleh ada dan boleh tidak ada atau dengan kata lain, tidak diwajibkan.

Kemudian pada ayat 2 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan :
”Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.”
Dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah, keberadaan naskah akademik ini sering dipertanyakan dan dipandang perlu untuk menentukan arahan pelaksanaan peraturan yang akan ditetapkan atau akan disepakati bersama. Adapun definisi dan isi naskah akademik ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 sebagai berikut :
”Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.”
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah menetapkan petunjuk naskah akademis dengan surat keputusan Nomor G-159.PR.09.10 tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Disebutkan format susunan naskah akademik sebagai berikut :
Bagian pertama : laporan hasil pengkajian dan penelitian rangcangan yang diusulkan dengan memuat :
1.    Pendahuluan, berisi latar belakang, tujuan dan kegunaan yang  ingin dicapai, metode pendekatan dan pengorganisasian ;
2.    Ruang lingkup berisi ketentuan umum dan materi ;
3.    Kesimpulan dan saran.
Bagian kedua : konsep awal rancangan yang terdiri dari pasal-pasal yang diusulkan, terdiri dari :
1.    Konsideran ;
2.    Alas/ dasar hukum ;
3.    Ketentuan umum ;
4.    Rincian materi ;
5.    Ketentuan pidana ;
6.    Ketentuan peralihan.
2.        Aturan Dalam Menyusun Kebijakan
Didalam menyususn kebijakan harus dengan prinsip peraturan perundang undangan, diantaranya adalah :
a.    Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.
b.    Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan Landasan Yuridis.
c.    Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
d.   Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.
e.    Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
f.     Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.
g.    Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.



Sementara asas dari pembentukan peraturan perundang undangan adalah :
a. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:
1)   Kejelasan tujuan;
2)   Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3)   Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4)   Dapat dilaksanakan;
5)   Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)   Kejelasan rumusan;
7)   Keterbukaan.
b. Asas Materiil
Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:
1)        Pengayoman;
2)        Kemanusiaan;
3)        Kebangsaan;
4)        Kekeluargaan;
5)        Kenusantaraan;
6)        Kebhinnekatunggalikaan;
7)        Keadilan yang merata;
8)        Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9)        Ketertiban dan kepastian hukum;
10)    Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.






c. Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni :
1.    Asas yuridis
2.    Asas filosofis
3.    Asas sosiologis.

Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.
Sementara itu,  jika ditinjau secara karakteristik suatu daerah, maka dalam menyususun suatu kebijakan daerah, perlu diperhatikan 4 (empat) nilai dasar, baik secara akademik , agama dan  budaya, diantaranya :

NO


Nilai Dasar Akademik

Nilai Dasar Islam

Nilai Dasar Adat/budaya
1.
Bahasa
Hakekat
Budi
2.
Logika
Tharekat/Tasauf
Akal
3.
Matematika
Syariat
Ilmu
4.
Statistik
Makrifat
Mungkin/Patut
3.    Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang Undangan
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3.     Peraturan Pemerintah;
4.    Peraturan Presiden;
5.    Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1.    Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
2.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3.    Peraturan Desa/Nagari/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa/nagari  atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa/nagari atau nama lainnya.
4.    Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;

Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berikut diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.
a.  Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.
b. Undang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1.      Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3.      Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4.      Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah
Undang-Undang yang sudah ada;
5.      Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6.      Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan
orang banyak.
c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1.    Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang  
berikut;
2.    Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
 mengadakan perubahan;
3.    Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
d. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
1.      Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2.      Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-     Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
3.      Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan
      undang undang induknya.

4.    Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang
bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang
5.      Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945  atau TAP MPR.
e. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
g. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
D.    KESIMPULAN

1.      Melihat karakteristik suatu daerah dan terbukanya peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap kebijakan terutama kebijakan daerah serta adanya Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Nomor G-159.PR.09.10 tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan, maka untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan diperlukan naskah akademik dalam menyusun kebijakan terutama kebijakan di daerah kab/kota yang seiring dengan semangat otonomi.

2.      Karena dalam menyusun suatu kebijakan tersebut memerlukan suatu kajian dan penelitian dengan mengacu pada aturan yang lebih tinggi, maka dituntut seorang birokrasi atau pegawai negeri sipil memiliki analisa akademisi atau sarjana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar