MONUMEN PDRI :
PERISTIWA SEJARAH DAN DESTINASI WISATA
Oleh
Ali Hasan,S.Sos
Sarilamak – Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) merupakan rangkaian peristiwa sejarah yang mengharumkan nama
Kabupaten Lima Puluh Kota di tingkat nasional. PDRI lahir sebagai penyelamatan
bagi eksistensi pemerintahan Republik Indonesia (RI). Sebenarnya Indonesia dan
Belanda telah menyepakati Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948.
Namun perjanjian ini bernasib serupa seperti Perjanjian Linggarjati yang diikrarkan
pada tanggal 25 Maret 1947 dan diingkari oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947
bersamaan dengan penyerangan pasukan belanda terhadap RI. Pengkhianatan
tersebut melahirkan perang gerilya yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dengan
menggunakan bambu runcing sebagai senjata.
Pada tanggal 18 Desember 1948, Dr. Beel (Wakil Tinggi Mahkota Belanda)
mengumumkan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
Menurut Ismael Hassan (Notulis perundingan Syafruddin-Natsir di Padang Jopang
VII Koto Talago tahun 1949) dalam catatan Mr. Syafruddin Prawiranegara :
Presiden Darurat, tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda menyerang Ibu
Kota Indonesia di Yogyakarta. Dan pada saat yang bersamaan, kota Bukittinggi
yang disebut-sebut sebagai ibu kota kedua RI juga diserang.
Di Yogyakarta, Presiden Soekarno memimpin sidang darurat kabinet yang dihadiri oleh Wakil Presiden M. Hatta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir, H.Agus Salim (Menteri Luar Negeri),
Ali Sastroamijoyo (Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan), Ir. Laoh
(Menteri Pekerjaan Umum), dan Mr. A.G. Priggodigdo (Kepala Sekretariat
Presiden). Sidang tersebut menghasilkan tiga keputusan. Yaitu Presiden, Wakil
Presiden, dan para Menteri tidak akan meninggalkan Yogyakarta karena tidak
adanya kepastian pengawalan yang mencukupi. Meski ada kemungkinan Presiden dan
Wakil Presiden akan ditahan, namun tetap bisa berkomunikasi dengan PBB melalui
Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat). Kedua, Wakil
Presiden yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan akan
memberikan himbauan melalui siaran radio agar semua anggota tentara dan rakyat
melakukan perang gerilya. Sedangkan
keputusan ketiga adalah menyangkut Pemerintahan Darurat yang telah disepakati
semua anggota rapat. M. Hatta mengusulkan nama Syafruddin Prawiranegara yang
dinilai sebagai anggota kabinet paling cakap dan paling cepat bergerak.
Dijelaskan
Akmal Nasery Basral dalam buku Presiden
Prawiranegara : Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia
(2011 : 82-83), semua anggota rapat langsung menyetujui usul M. Hatta. Presiden
dan Wakil Presiden akan mengirimkan radiogram kepada Menteri Kemakmuran
Syafruddin Prawiranegara yang masih berada di Bukittinggi untuk segera
membentuk sebuah Pemerintah Darurat lengkap dengan kabinet baru, serta
melanjutkan pemerintahan sebagai konsekuensi seandainya terjadi penahanan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Susunan kalimat kawat yang akan
dikirimkan kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi perdebatan tersendiri.
Rancangan awal kawat tersebut berbunyi, “Kami
Presiden Indonesia, memberitahukan bahwa pada hari Minggu 19 Desember 1948
pukul 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika
Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan, kami menyerukan kepada
seluruh rakyak untuk memilih pimpinan pemerintahan baru…” .
Namun
kalimat “Jika Presiden dan Wakil Presiden
terbunuh…” mengundang kekhawatiran Sutan Syahrir yang cemas pemerintahan
darurat bukan hanya terbentuk satu, melainkan berdiri di banyak tempat dan
semuanya merasa menjadi pemerintahan darurat yang sah. Akhirnya kalimat kedua
dari kawat itu diubah menjadi, “Jika dalam
keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami
menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia
untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”.
Rancangan baru ini memuaskan Sutan Syahrir dan disepakati oleh seluruh peserta
rapat, sehingga bunyinya secara lengkap menjadi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu
tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas
Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan
kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik
Darurat di Sumatera”. Kawat ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden M. Hatta.
Sebuah rancangan kawat kedua juga disiapkan untuk dikirimkan
kepada Dr. Sudarsono, Duta Besar Indonesia di India, dan Mr. Alex Maramis
(Menteri Keuangan) yang sedang berada di New Delhi untuk tugas negara. Isi
kawat tersebut adalah, “Kami, Presiden
Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948
jam 06.00, Belanda telah memulai
serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara
untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada
saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Goverment Republic Indonesia
di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika
hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya”.
Radiogram ini ditandatangani oleh Wakil Presiden M. Hatta dan H. Agus Salim
(Menteri Luar Negeri).
Tidak lama kemudian Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri
ditangkap oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 jam 09.00 pagi di Gedung Tamu
Agung (Tri Arga-Istana Bung Hatta) Bukittinggi diadakan pertemuan yang dihadiri
oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan, Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran
RI), Mr. Lukman Hakim, Kol. Hidayat, Kombes Pol. Umar Said, dan Mr. Moh.
Nasroen (Gunbernur Sumatera Tengah) membicarakan kondisi. Karena keadaan yang
tidak memungkinkan, maka pertemuan diundur. Dan sore harinya, Mr. Syafruddin
Prawiranegara dan Kol. Hidayat datang ke kediaman Ketua Komisariat Pemerintah
Pusat untuk Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hasan di jalan atas Ngarai untuk
melanjutkan perundingan.
Hasil akhir perundingan, Mr. Teuku Mohammad Hasan mengatakan
“Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di
Sumatera, yaitu Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 jam 18.00 telah
dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”, dengan ketua Mr.
Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua dan wakil ketua dijabat oleh Mr. Teuku
Mohammad Hasan. Keputusan pertama yang diambil adalah instruksi agar seluruh
pejabat pemerintah yang ada di Bukittinggi untuk segera menuju Halaban pada jam
21.00. Rombongan Syafruddin-Tengku Moh. Hasan tiba menjelang Subuh. Dan dua
hari kemudian disusul oleh rombongan Mr. St. Moh. Rasjid.
Tanggal 22 Desember 1948 jam 04.30 di Halaban, diumumkan
pembentukan PDRI dengan susunan kabinet sebagai berikut :
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara : Ketua
b. Mr. Teuku Moh. Hasan :
Wakil Ketua
c. Mr. St. Moh. Rasjid :
Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda
d. Mr. Lukman Hakim :
Menteri Keuangan/Kehakiman
e. Ir. M. Sitompul :
Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan
f. Ir. Indracaya :
Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran
g. RM. Danubroto :
Sekretaris
Sedangkan untuk wilayah pulau Jawa dibentuk Komisariat
PDRI di bawah pimpinan Mr. Susanto Tirtoprojo, I.J. Kasimo, KH. Masjkur,
Supeno, dan Panji Suroso. Panglima Besar Soedirman ditetapkan sebagai Panglima
Besar Angkatan Perang PDRI, Kol. A.H. Nasution menjadi Panglima Tentara
Teritorial Jawa, Kol. Hidayat menjadi Panglima Tentara Teritorial Sumatera, Kol
(Laut) M. Nazir menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kol (Udara) H. Sujono
menjabat Panglima Angkatan Udara.
Sumatera Tengah (Sumatera Barat) telah lama bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk,
dilanjutkan dengan Dewan Perjuangan, kemudian menjadi Markas Pertahanan Rakyat
Daerah (MPRD) dengan Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK), dan disempurnakan
dengan Pasukan Mobil Teras (PMT-BPNK). Koto Tinggi dipilih menjadi pusat
pemerintahan dimana Mr. St. Moh. Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat
dan sebagai salah seorang menteri PDRI bermarkas. PDRI dalam menjalankan
pemerintahan sehari-hari menempuh siasat dengan berpencar. Bidar Alam, salah
satu desa di Solok Selatan menjadi pusat pemerintahan PDRI paling lama. Di
tempat ini, Mr. Syafruddin Prawiranegara bermukim dan memimpin sidang-sidang
kabinet selama lebih kurang tiga setengah bulan.
Pemberian mandat pengalihan kekuasaan memang tidak pernah
sampai ke tangan Mr. Syafruddin, tetapi jauh sebelumnya Wakil Presiden Hatta
telah memberi perhitungan matang soal kemungkinan penyerangan oleh pasukan
Belanda, dan secara lisan telah menyampaikan kemungkinan mandat tersebut
dikeluarkan. Di atas kebutuhan bangsa dan negara Indonesia masa depan,
Syafruddin mengambil kepercayaan sejarahnya meski ia tahu pengangkatannya pasca
agresi Belanda itu antara ada dan tiada. Mr. Syafruddin Prawiranegara mempunyai
keberanian untuk bertindak dan memikul tanggung jawab untuk menyelamatkan
bangsa. Inisiatif itu terlepas dari instruksi Yogya yang tertuang dalam mandat
Presiden dan tidak pernah sampai di tangan Syafruddin. Akan tetapi pemikiran
yang berkembang dan inisiatif yang diambil itu sejajar dengan pemikiran di
tingkat pusat yang dituangkan dalam mandat tersebut.
Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam menegakkan
PDRI telah diakui oleh pemerintah pusat. Tanggal 18 Desember 2006 di kota
Padang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor
28 Tahun 2006 dan menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara
(HBN). Dalam salah satu poin pertimbangannya disebutkan bahwa, “Tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari
bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan
Pemerintahan Negara Republik Indonesia dalam rangka bela negara”. Dengan
keluarganya Keppres tersebut merupakan kebanggaan Kabupaten Lima Puluh Kota dan
Sumatera Barat, karena baru pertama kali peristiwa sejarah di luar pulau Jawa
ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional.
Sejarah mencatat, selama perang gerilya menghadapi
Belanda, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan basis perjuangan PDRI dan
pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Tengah. Dalam perkembangan sejarah
memang ada pengaburan yang menyebutkan pusat PDRI berada di Bukittinggi. Namun
jika dicermati dari saksi hidup sejarah PDRI maka hal tersebut telah
terbantahkan dengan sendirinya. Dalam rentang sejarah, di Kabupaten Lima Puluh
Kota terhimpun kekuatan militer dengan Koto Tinggi sebagai basisnya. Dan dari
Koto Tinggi dan Ampalu Halaban siaran radio bisa ditangkap oleh luar negeri,
sebagai tanda bahwa RI masih ada.
Bupati dr. Alis Marajo sendiri dalam Peraturan Bupati
Nomor 34 Tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 Tentang Penetapan dan Pedoman
Penyelenggaraan Peringatan Hari Bela Negara dan Rangkaian Peristiwanya di
Kabupaten Lima Puluh Kota telah menetapkan lokasi peringatannya, yaitu :
- Peristiwa konsolidasi Komando Sumatera dan pembentukan Gubernur Militer, Bupati Militer, dan Wedana Militer yang menuju Koto Tinggi tanggal 19 Desember 1948 ;
- Peristiwa pengumuman Kabinet PDRI di Halaban yang terjadi tanggal 22 Desember 1948 ;
- Peristiwa gugurnya sembilan syuhada (BPNK) di Titian Dalam Nagari Pandam Gadang tanggal 10 Januari 1949 ;
- Peristiwa penyerangan para pemimpin PDRI oleh Belanda dan kaki tangannya di wilayah Situjuah Batua tanggal 15 Januari 1949 ;
- Peristiwa Koto Tuo Lautan Api tanggal 10 Juni 1949 ;
- Peristiwa perundingan antara utusan pemberi mandat/pemerintahan RI dengan pemimpin PDRI di Padang Jopang tanggal 6 Juli 1949 ;
- Peristiwa rapat umum pimpinan PDRI dengan masyarakat di Koto Kaciak tanggal 7 Juli 1949.
Tak hanya mengakui tanggal terbentuknya PDRI sebagai Hari
Bela Negara, pemerintah juga telah memberikan gelar “Pahlawan Nasional” kepada
Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pemberian gelar tersebut dilaksanakan dalam
rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 dan didasarkan pada hasil
Sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada tanggal 25 Oktober
2011, dengan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November
2011. Tanggal 8 November 2011 di Istana Negara, Presiden SBY berkenan
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Syafruddin. Gelar yang juga
diberikan kepada enam putra terbaik bangsa ini, diterima oleh ahli waris
Syafruddin Prawiranegara dan disambut gembira oleh masyarakat Sunda, Banten,
dan Sumatera Barat.
MONUMEN PDRI SEBAGAI DESTINASI WISATA
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-14-2011
tanggal 17 Januari 2011 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Monumen dan Tugu
Bela Negara, diputuskan bahwa lokasi pembangunan Monumen Bela Negara adalah di
Koto Tinggi Kecamatan Gunung Omeh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kemudian untuk
mempercepat pembangunan Monumen Bela Negara tersebut, maka dikeluarkan
Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 450-320-2011 Tanggal 6 Juni 2011 dengan
lokasi Pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh
serta Tugu Bela Negara di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban.
Monumen PDRI layak dibangun di Kabupaten Lima Puluh Kota
khususnya di Jorong Aia Angek Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh dengan
pertimbangan sebagai berikut :
- Posisi dan nilai penting PDRI sebagai bagian dari tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan,
- Kondisi situasi atau monumen yang ada mempresentasikan nilai penting dan perannya bagi tegaknya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar,
- Pentingnya menumbuhkembangkan dan membangun semangat patriotisme, nasionalisme, dan kejuangan bagi generasi penerus bangsa untuk memperkuat keunggulan dan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah pergaulan internasional.
Perjuangan PDRI merupakan sumbangan terbesar Sumatera
Barat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk itulah perlu dibangun
suatu monumen untuk menguatkan posisi Sumatera Barat dalam sejarah awal
pemerintahan Indonesia. Monumen PDRI
akan dibangun di atas tanah seluas 50 hektar. Untuk tahap awal, pembangunan
Monumen akan difokuskan pada tanah seluas 20 hektar. Peletakan batu pertama
direncanakan dilakukan pada tanggal 19 Desember 2012, bertepatan dengan upacara
peringatan Hari Bela Negara di lokasi pembangunan Monumen PDRI. Monumen PDRI
akan menjadi kawasan wisata sejarah, edukasi, dan kuliner.
Kawasan monumen PDRI termasuk ke dalam Wilayah
Pengembangan Pariwisata Daerah (WPPD) 4, yaitu berada di kecamatan Bukit
Barisan, kecamatan Suliki, dan kecamatan Gunung Omeh. WPPD ini terdiri dari dua
Sub Wilayah Pengembangan Pariwisata (SWPP) dengan pusat pengembangan adalah
Menhir Maek dan Tugu PDRI yang didukung oleh sepuluh objek wisata pendukung.
Rencananya kawasan monumen PDRI ini akan terdiri dari monumen, plaza, medan
bapaneh, gedung seminar, Mushalla, pertokoan, danau buatan, cottage area,
auditorium, Kampus Bela Negara, dan restoran.