Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Senin, 10 Desember 2012



MONUMEN PDRI : PERISTIWA SEJARAH DAN DESTINASI WISATA

Oleh
Ali Hasan,S.Sos

Sarilamak – Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) merupakan rangkaian peristiwa sejarah yang mengharumkan nama Kabupaten Lima Puluh Kota di tingkat nasional. PDRI lahir sebagai penyelamatan bagi eksistensi pemerintahan Republik Indonesia (RI). Sebenarnya Indonesia dan Belanda telah menyepakati Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Namun perjanjian ini bernasib serupa seperti Perjanjian Linggarjati yang diikrarkan pada tanggal 25 Maret 1947 dan diingkari oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 bersamaan dengan penyerangan pasukan belanda terhadap RI. Pengkhianatan tersebut melahirkan perang gerilya yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dengan menggunakan bambu runcing sebagai senjata.

Pada tanggal 18 Desember 1948, Dr. Beel (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) mengumumkan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Menurut Ismael Hassan (Notulis perundingan Syafruddin-Natsir di Padang Jopang VII Koto Talago tahun 1949) dalam catatan Mr. Syafruddin Prawiranegara : Presiden Darurat, tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda menyerang Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta. Dan pada saat yang bersamaan, kota Bukittinggi yang disebut-sebut sebagai ibu kota kedua RI juga diserang.
Di Yogyakarta, Presiden Soekarno memimpin sidang darurat kabinet yang  dihadiri oleh Wakil Presiden M. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir, H.Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Ali Sastroamijoyo (Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan), Ir. Laoh (Menteri Pekerjaan Umum), dan Mr. A.G. Priggodigdo (Kepala Sekretariat Presiden). Sidang tersebut menghasilkan tiga keputusan. Yaitu Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri tidak akan meninggalkan Yogyakarta karena tidak adanya kepastian pengawalan yang mencukupi. Meski ada kemungkinan Presiden dan Wakil Presiden akan ditahan, namun tetap bisa berkomunikasi dengan PBB melalui Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat). Kedua, Wakil Presiden yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan akan memberikan himbauan melalui siaran radio agar semua anggota tentara dan rakyat melakukan perang gerilya. Sedangkan keputusan ketiga adalah menyangkut Pemerintahan Darurat yang telah disepakati semua anggota rapat. M. Hatta mengusulkan nama Syafruddin Prawiranegara yang dinilai sebagai anggota kabinet paling cakap dan paling cepat bergerak.

Dijelaskan Akmal Nasery Basral dalam buku Presiden Prawiranegara : Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia (2011 : 82-83), semua anggota rapat langsung menyetujui usul M. Hatta. Presiden dan Wakil Presiden akan mengirimkan radiogram kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang masih berada di Bukittinggi untuk segera membentuk sebuah Pemerintah Darurat lengkap dengan kabinet baru, serta melanjutkan pemerintahan sebagai konsekuensi seandainya terjadi penahanan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Susunan kalimat kawat yang akan dikirimkan kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi perdebatan tersendiri. Rancangan awal kawat tersebut berbunyi, “Kami Presiden Indonesia, memberitahukan bahwa pada hari Minggu 19 Desember 1948 pukul 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan, kami menyerukan kepada seluruh rakyak untuk memilih pimpinan pemerintahan baru…” . 
Namun kalimat “Jika Presiden dan Wakil Presiden terbunuh…” mengundang kekhawatiran Sutan Syahrir yang cemas pemerintahan darurat bukan hanya terbentuk satu, melainkan berdiri di banyak tempat dan semuanya merasa menjadi pemerintahan darurat yang sah. Akhirnya kalimat kedua dari kawat itu diubah menjadi, “Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Rancangan baru ini memuaskan Sutan Syahrir dan disepakati oleh seluruh peserta rapat, sehingga bunyinya secara lengkap menjadi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kawat ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta.
Sebuah rancangan kawat kedua juga disiapkan untuk dikirimkan kepada Dr. Sudarsono, Duta Besar Indonesia di India, dan Mr. Alex Maramis (Menteri Keuangan) yang sedang berada di New Delhi untuk tugas negara. Isi kawat tersebut adalah, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00,  Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Goverment Republic Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya”. Radiogram ini ditandatangani oleh Wakil Presiden M. Hatta dan H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri).
Tidak lama kemudian Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri ditangkap oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 jam 09.00 pagi di Gedung Tamu Agung (Tri Arga-Istana Bung Hatta) Bukittinggi diadakan pertemuan yang dihadiri oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan, Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), Mr. Lukman Hakim, Kol. Hidayat, Kombes Pol. Umar Said, dan Mr. Moh. Nasroen (Gunbernur Sumatera Tengah) membicarakan kondisi. Karena keadaan yang tidak memungkinkan, maka pertemuan diundur. Dan sore harinya, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Kol. Hidayat datang ke kediaman Ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hasan di jalan atas Ngarai untuk melanjutkan perundingan.

Hasil akhir perundingan, Mr. Teuku Mohammad Hasan mengatakan “Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 jam 18.00 telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”, dengan ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua dan wakil ketua dijabat oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Keputusan pertama yang diambil adalah instruksi agar seluruh pejabat pemerintah yang ada di Bukittinggi untuk segera menuju Halaban pada jam 21.00. Rombongan Syafruddin-Tengku Moh. Hasan tiba menjelang Subuh. Dan dua hari kemudian disusul oleh rombongan Mr. St. Moh. Rasjid.

Tanggal 22 Desember 1948 jam 04.30 di Halaban, diumumkan pembentukan PDRI dengan susunan kabinet sebagai berikut :
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara             : Ketua
b. Mr. Teuku Moh. Hasan                       : Wakil Ketua
c. Mr. St. Moh. Rasjid                            : Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda
d. Mr. Lukman Hakim                             : Menteri Keuangan/Kehakiman
e. Ir. M. Sitompul                                   : Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan
f. Ir. Indracaya                                       : Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran
g. RM. Danubroto                                  : Sekretaris

Sedangkan untuk wilayah pulau Jawa dibentuk Komisariat PDRI di bawah pimpinan Mr. Susanto Tirtoprojo, I.J. Kasimo, KH. Masjkur, Supeno, dan Panji Suroso. Panglima Besar Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI, Kol. A.H. Nasution menjadi Panglima Tentara Teritorial Jawa, Kol. Hidayat menjadi Panglima Tentara Teritorial Sumatera, Kol (Laut) M. Nazir menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kol (Udara) H. Sujono menjabat Panglima Angkatan Udara.

Sumatera Tengah (Sumatera Barat) telah lama bersiap menghadapi segala kemungkinan. Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk, dilanjutkan dengan Dewan Perjuangan, kemudian menjadi Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) dengan Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK), dan disempurnakan dengan Pasukan Mobil Teras (PMT-BPNK). Koto Tinggi dipilih menjadi pusat pemerintahan dimana Mr. St. Moh. Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat dan sebagai salah seorang menteri PDRI bermarkas. PDRI dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari menempuh siasat dengan berpencar. Bidar Alam, salah satu desa di Solok Selatan menjadi pusat pemerintahan PDRI paling lama. Di tempat ini, Mr. Syafruddin Prawiranegara bermukim dan memimpin sidang-sidang kabinet selama lebih kurang tiga setengah bulan.

Pemberian mandat pengalihan kekuasaan memang tidak pernah sampai ke tangan Mr. Syafruddin, tetapi jauh sebelumnya Wakil Presiden Hatta telah memberi perhitungan matang soal kemungkinan penyerangan oleh pasukan Belanda, dan secara lisan telah menyampaikan kemungkinan mandat tersebut dikeluarkan. Di atas kebutuhan bangsa dan negara Indonesia masa depan, Syafruddin mengambil kepercayaan sejarahnya meski ia tahu pengangkatannya pasca agresi Belanda itu antara ada dan tiada. Mr. Syafruddin Prawiranegara mempunyai keberanian untuk bertindak dan memikul tanggung jawab untuk menyelamatkan bangsa. Inisiatif itu terlepas dari instruksi Yogya yang tertuang dalam mandat Presiden dan tidak pernah sampai di tangan Syafruddin. Akan tetapi pemikiran yang berkembang dan inisiatif yang diambil itu sejajar dengan pemikiran di tingkat pusat yang dituangkan dalam mandat tersebut.

Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam menegakkan PDRI telah diakui oleh pemerintah pusat. Tanggal 18 Desember 2006 di kota Padang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 dan menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara (HBN). Dalam salah satu poin pertimbangannya disebutkan bahwa, “Tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dalam rangka bela negara”. Dengan keluarganya Keppres tersebut merupakan kebanggaan Kabupaten Lima Puluh Kota dan Sumatera Barat, karena baru pertama kali peristiwa sejarah di luar pulau Jawa ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional.

Sejarah mencatat, selama perang gerilya menghadapi Belanda, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan basis perjuangan PDRI dan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Tengah. Dalam perkembangan sejarah memang ada pengaburan yang menyebutkan pusat PDRI berada di Bukittinggi. Namun jika dicermati dari saksi hidup sejarah PDRI maka hal tersebut telah terbantahkan dengan sendirinya. Dalam rentang sejarah, di Kabupaten Lima Puluh Kota terhimpun kekuatan militer dengan Koto Tinggi sebagai basisnya. Dan dari Koto Tinggi dan Ampalu Halaban siaran radio bisa ditangkap oleh luar negeri, sebagai tanda bahwa RI masih ada.

Bupati dr. Alis Marajo sendiri dalam Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 Tentang Penetapan dan Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Bela Negara dan Rangkaian Peristiwanya di Kabupaten Lima Puluh Kota telah menetapkan lokasi peringatannya, yaitu :
  1. Peristiwa konsolidasi Komando Sumatera dan pembentukan Gubernur Militer, Bupati Militer, dan Wedana Militer yang menuju Koto Tinggi tanggal 19 Desember 1948 ;
  2. Peristiwa pengumuman Kabinet PDRI di Halaban yang terjadi tanggal 22 Desember 1948 ;
  3. Peristiwa gugurnya sembilan syuhada (BPNK) di Titian Dalam Nagari Pandam Gadang tanggal 10 Januari 1949 ;
  4. Peristiwa penyerangan para pemimpin PDRI oleh Belanda dan kaki tangannya di wilayah Situjuah Batua tanggal 15 Januari 1949 ;
  5. Peristiwa Koto Tuo Lautan Api tanggal 10 Juni 1949 ;
  6. Peristiwa perundingan antara utusan pemberi mandat/pemerintahan RI dengan pemimpin PDRI di Padang Jopang tanggal 6 Juli 1949 ;
  7. Peristiwa rapat umum pimpinan PDRI dengan masyarakat di Koto Kaciak tanggal 7 Juli 1949.

Tak hanya mengakui tanggal terbentuknya PDRI sebagai Hari Bela Negara, pemerintah juga telah memberikan gelar “Pahlawan Nasional” kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pemberian gelar tersebut dilaksanakan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 dan didasarkan pada hasil Sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada tanggal 25 Oktober 2011, dengan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Tanggal 8 November 2011 di Istana Negara, Presiden SBY berkenan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Syafruddin. Gelar yang juga diberikan kepada enam putra terbaik bangsa ini, diterima oleh ahli waris Syafruddin Prawiranegara dan disambut gembira oleh masyarakat Sunda, Banten, dan Sumatera Barat.


MONUMEN PDRI SEBAGAI DESTINASI WISATA
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-14-2011 tanggal 17 Januari 2011 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Monumen dan Tugu Bela Negara, diputuskan bahwa lokasi pembangunan Monumen Bela Negara adalah di Koto Tinggi Kecamatan Gunung Omeh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kemudian untuk mempercepat pembangunan Monumen Bela Negara tersebut, maka dikeluarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 450-320-2011 Tanggal 6 Juni 2011 dengan lokasi Pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh serta Tugu Bela Negara di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban.

Monumen PDRI layak dibangun di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya di Jorong Aia Angek Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. Posisi dan nilai penting PDRI sebagai bagian dari tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan,
  2. Kondisi situasi atau monumen yang ada mempresentasikan nilai penting dan perannya bagi tegaknya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar,
  3. Pentingnya menumbuhkembangkan dan membangun semangat patriotisme, nasionalisme, dan kejuangan bagi generasi penerus bangsa untuk memperkuat keunggulan dan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah pergaulan internasional.

Perjuangan PDRI merupakan sumbangan terbesar Sumatera Barat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk itulah perlu dibangun suatu monumen untuk menguatkan posisi Sumatera Barat dalam sejarah awal pemerintahan Indonesia.  Monumen PDRI akan dibangun di atas tanah seluas 50 hektar. Untuk tahap awal, pembangunan Monumen akan difokuskan pada tanah seluas 20 hektar. Peletakan batu pertama direncanakan dilakukan pada tanggal 19 Desember 2012, bertepatan dengan upacara peringatan Hari Bela Negara di lokasi pembangunan Monumen PDRI. Monumen PDRI akan menjadi kawasan wisata sejarah, edukasi, dan kuliner.

Kawasan monumen PDRI termasuk ke dalam Wilayah Pengembangan Pariwisata Daerah (WPPD) 4, yaitu berada di kecamatan Bukit Barisan, kecamatan Suliki, dan kecamatan Gunung Omeh. WPPD ini terdiri dari dua Sub Wilayah Pengembangan Pariwisata (SWPP) dengan pusat pengembangan adalah Menhir Maek dan Tugu PDRI yang didukung oleh sepuluh objek wisata pendukung. Rencananya kawasan monumen PDRI ini akan terdiri dari monumen, plaza, medan bapaneh, gedung seminar, Mushalla, pertokoan, danau buatan, cottage area, auditorium, Kampus Bela Negara, dan restoran.





Rabu, 14 November 2012



ALIS MARAJO BUPATI YANG UNIK

Oleh
Ali Hasan, S.Sos

Alis Marajo Dt Sori Marajo adalah sosok Bupati yang unik, disamping ahli histology juga ahli dibidang politik, banyak kebijakannya sebagai Bupati Lima Puluh kota , baik pada periode 2000 – 2005 maupun pada periode 2011 – 2015 (baru 2 tahun periode ke 2) yang membuat banyak orang “tapurangah”, mulai dari keberaniannya membuka jalan baru pada periode pertama kepemimpinannya sampai keberaniannya menolak bantuan yang tidak diikuti oleh kebijakan (legalitas) yang jelas.
Uniknya lagi, Secara akademis Alis adalah seorang dokter, tapi kenyantaannya dia dikenal sebagai politikus tiga jaman (orla,orba dan reformasi), berbagai jabatan poilitik telah diraihnya pada jaman itu dan Dt Sori Marajo ini juga suka berpikir kebelakang alias suka akan sejarah masa lampau.
Secara formal Alis bukanlah sejarawan tapi beliau sangat mengerti dengan sejarah karena memang secara otodidak mendapatkan ilmu sejarah dan adat budaya minang kabau. Ini terlihat begitu banyaknya referensi atau koleksi buku buku sejarah yang dimilikinya dan yang anehnya beliau juga banyak menulis buku tentang adat dan budaya daerah diantaranya baribalabeh dan tetralogi minang kabau serta banyak yang  lainnya.
Disaat ranah minang ini,  dikatakan memiliki peradapan budaya tertua diseantero negeri, ranah minang malah tidak memiliki aksara, dengan alasan tidak ditemukan bukti aksara di daun lontar atau batu. Alis Marajo malah tampil dengan mengatakan Ranah minang punya aksara dan itu tertulis di batu yang berada di akar kayu yang terletak di Koto Lamo Kec Kapur IX. Uniknya tulisan di batu tersebut yang dicocokan dengan buku karangan A Damhoeri tertulis DAHANA bertahun 640 M.
“No place without story” setiap tempat ada ceritanya adalah kebijakannya dibidang budaya dan pariwisata yang digelontorinya pada awal kepemimpinanya tapi ini belum begitu membumi, yang jelas ini telah menarik perhatian wisatawan manca negara terutama dari malaysia, sampai bantuanpun mengalir dari warga negara jiran itu untuk Luak Limo Puluh, sebagaimana yang diwartakan waktu pilkada dulu, bahkan LKAAM Lima Puluh Kota pun keciprakan .
Alis , memang pandai mengait gaitkan sesuatu di bidang budaya, lihat saja Benteng Tuanku Nan Garang yang berada di Nagari Lubuak Batingkok, peletakan batu pertamanya oleh Hussaini bin akhmad Tuanku Raja Besar di Negeri Sembilan. Begitu juga Cek Nursal bersama rombongannya juga sering mengunjungi Alis, bahkan cek Nursal pernah mintak izin untuk mencetak buku tentang adat yang ditulis Alis.
Dibidang politik, tidak perlu ditanya, memang Alis ahlinya, bahkan dia dijuluki oleh sesama rekannya sebagai doktor politik, karena diwaktu beliau membuka praktek di Padang maupun di Lima Puluh Kota, banyak pasiennya membicarakan masalah politik dari pada berobat. Bahkan Akbar Tanjung  sendiri dibikin salut oleh Alis karena keyakinannya terhadap hitung hitungan politiknya pada Pilkada 2011-2015 yang dimenangkan Alis dengan selisih suara sebanyak 800 suara. Tidak disitu saja, diwaktu pelantikannya banyak dihadiri oleh tokoh tokoh nasional.
Di masyarakat Lima Puluh Kota, Alis juga sangat membumi dengan kebijakan gerbang gor, kegiataannya dalam bentuk gotoh royong bersama masyarakat yang diikuti oleh seluruh kepala SKPD. Inilah saatnya bagi Alis membawa para pejabat daerah masuk kampung keluar kampung dan juga masuk hutan untuk melihat teritorial nagari.
Masalah teritorial daerah mutlak harus diketahui oleh pejabat daerah, kalau tidak bagaimana mungkin pejabat daerah tersebut bisa melayani masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat. Dan Alis tidak segan segan mempermalukan pejabat di tengah tengah masyarakat karena ketidak tauannya masalah teritorial daerah. Ini pernah terjadi pada periode pertama kepemimpinanya.
Periode ke dua kepemimpinan Alis Marajo, tidaklah setegas dan  sekeras kepemimpinan pertama dulu, karena tidak terlihat Alis memarahi pejabatnya, Cuma saja,  style berbicaranya saja yang masih membuat orang tapurangah karena setiap yang diucapkannya itu seakan terstruktur dan mengalir seperti air , jadi sepertinya Alis menguasai medan yang dilaluinya.
Makanya tak heran, jika setiap kegiatan yang ada di kabupaten Lima Puluh Kota itu ada kebijakannya, supaya kegiatan tersebut tepat sasaran dan yang melaksanakan kegiatan tersebut juga terproteksi oleh legalitas yang ada.
Terjadinya penolakan bantuan sebagaimana yang diwartakan, bukan merupakan hal baru di kabupaten Lima Puluh Kota karena pernah dilakukannya pada kepemimpinan periode pertama dulu. Terutama masalah dana dekon dan tugas perbantuan (TP).
Berbeda pendapat bagi Alis adalah hal yang wajar tapi bagaimana mencari persamaan dari pada perbedaan, itulah hal yang terpenting, kata Alis suatu ketika.  Itulah Alis Marajo Bupati yang unik di Kab Lima Puluh Kota.

Kamis, 25 Oktober 2012



SEJARAH ALEK BAKAJANG DI NAGARI GUNUNG MALINTANG

Oleh
Ali Hasan, S.Sos

Menurut bahasa melayu kuno kajang berarti perahu/sampan atau kajang juga berarti “memperbaharui” maka bakajang berarti  jalang manjalang untuk silahturahmi yang dilaksanakan setelah hari idul fitri dengan tujuan meningkatkan silahturahmi diantara anak kemenakan 4 suku yang dilaksanakan melalui acara alek bakajang di Sungai Batang Mahat.

 Plaksanaan acara “alek bakajang” yang dilaksanakan sampai sekarang,  merupakan warisan nenek moyang orang Gunuang Malintang,  diawal pertama kali memasuki daerah ini dengan cara “Dulu kala” menjalang, menjanguak dengan sarana sampan kajang (perahu yang dihiasi) dari Istano Dt Bandaro, Istano Dt sati, Istano Dt Panduko Rajo, Istano Dt Gindo Simarajo dan Istano Alim Ulama jo Pemerintah Nagari  (dari jorong yang satu ke jorong yang lain melalui sungai Batang Mahat dan menbawa satu carano dan lengkap dengan isinya dimasa itu, karena dulu belum adanya jalan raya seperti sekarang ini dan sebagian besar wilayah ini baru hutan rimba.

 Batang Mahat merupakan sebuah sungai yang sangat besar mamfaatnya bagi masyarakat mulai dari Nagari Mahat sampai kedaeraah Kampar , salah satu daerah yang dilaluinya adalah Nagari Gunung Malintang yang dimamfaatkan untuk bakajang karena pada zaman dahulu belum ada jalan raya sebagai penghubung satu daerah dengan daerah lain. Maka Sungai Batang Mahat inilah sebagai sarana untuk mempersatukan suatu suku, satu golongan, satu kemenakan dengan kemenakan lainnya sebagai mana yang telah diwarisi oleh anak nagari Gunung malintang sampai saat ini dengan nama “Alek Bakajang yang dimulai pada hari ke 4 (empat) di bulan Syawal (hari raya ke 4) selama 5 (lima ) hari secara berturut turut yang dilaksanakan  pada 

1.       Istanao Dt Bandaro di Jorong Koto Lamo
2.       Istano Dt Sati di Jorong Batu Balah
3.       Istano Dt Paduko Rajo di Jorong Baliak Bukik/Jorong Boncah Lumpur
4.       Istano Dt Gindo Simarajo di Jorong Kto Mesjid
5.       Istano Pemerintahan Nagari, alim ulama dan Pemuda di Jorong  Baliak Bukik/Jorong Boncah Lumpur.
Sedangkan maksud diadakannya alek bakajang yaitu meningkatkan silahturahmi antara anak nagari, ninik mamak, alim ulama dan Pemerintah, dengan tujuan mempererat persatuan, melestarikan adat budaya nagari, membangkitkan kreatifitas pemuda nagari, dan sarana menyampaikan informasi adat istiadat, agama, peraturan nagari dan informasi pemerintah serta menambah pendapatan masyarakat.

Peserta dan pelaku alek bakajang adalah pemuda, ninik mamak, alim ulama,Pemerintahan Nagari,Tokoh masyarakat,PKK dan Bundo kanduang, perantau dan donatur serta masyarakat Nagari Gunung Malintang. Awal mulanya pelaksanakan  bakajang, dimulai dari kedatangan Dt Bandaro, Dt Sati, Dt Paduko Rajo dan Dt Gindo Simarajo, dengan sejarah kedatangan sebagai berikut : 

 I.                    KEDATANGAN DT BANDARO

Datang nyo Dt Bandaro ke Nagari Gunung Malintang yang bermula berasal  dari Muaro Takus, sekarang dalam daerah Kabupaten Kampar Provinsi Riau dengan melalui/mendaki bukit batu Lampasan terus melalui bukit Takuak melewati bukit Godang, terus ke Batu Jonjang menuruni Lubuak Buntong, mendaki ka pa ontian Sompuik, menuruni batu Baiduang terus ka Surau Godang, kemudian terus berjalan melalui Sungai Lowan, sesampai disana rombongan DT Bandaro bermalam dan menetap, maka didirikanlah sebuah Koto pada masa itu dengan nama  Koto Muaro Lowan.
Musim berjalan tahun berganti, berkembang jua anak kemenakan Dt Bandaro, kemudian ingin mencari daerah baru untuk ditempati, maka berbagilah rombongan tadi menjadi 2 bagian, pertama pergi menelusuri kehilir Batang Maek sampailah di Nagari Pangkalan, sekarang dibawah kepemimpinan Dt Majo serta berkembang biak dan membentuk sebuah nagari.
Rombongan ke dua  berjalan menelusuri Sungai Batang mahat dibawah kepemimpinan Dt Bandaro, maka dibuatlah sebuah perahu yang diberi nama dimasa itu dengan sebutan Perahu Kajang, dengan menaiki Kajang maka terus di daki Sungai Batang Mahat tersebut hingga akhirnya rombongan Dt Bandaro tadi bermalam serta membuat sebuah pemukiman yang disebut dengan Koto Lamo.
Setelah menetap beberapa lama disana, maka tatkala ada keperluan di Sungai Batang mahat, maka tampaklah oleh seorang rombongan Dt Bandaro tadi kayu penarahan hanyut serta asap api yang membubung ke atas di daerah Mudiak, maka timbullah perasaan didalam hatibahwa mungkin ada orang lain yang menetap di mudiak kita ini. Untuk memastikan bahwa ada orang dimudiak, maka rombongan tadi melanjutkan kembali menelurusuri aliran Sungai Batang Maek. Tatkala setibanya di sebuah anak sungai, kiranya ada orang di mudiak tadi adalah rombongan Datuak Sati yang datang dari daerah Maek, maka diberilah nama tempat bertemu kedua rombongan tadi (Rombongan Dt Bandaro dengan Dt Sati) dengan Nama  Sungai Sonsongan silsilah nama DT BENDERA karena rombongan i ni selalu membawa bendera/menara, tetapi karena perubahan kata serta zaman, agar enak didengar maka nama DT BENDERA tadi dirobah pengucapannya menjadi Dt Bandaro sekarang.

II.                  KEDATANGAN DT SATI.

Dt Sati sekarang ini yang mendiami Gunung Malintang, mulanya berasal dari Nagari Mahat yang mana Dt Sati ini 3 orang bersaudara, stu bernama Dt Sati< kedua Dt Gompo, dan yang ketiga bernama  Sutan Parimpunan. Pada masa dahulu datalah tamu tak diundang berkunjung kerumah Dt . disangka orang baik baik kiranya orang yang ingin merampok, karena ingin menyelamatkan harta berharganya , maka mereka lari berpencar, yang satu lari ke Sopan Tana, yang satu lagi lari ke Lubuak Awuang, dan yang satu lagi menyelamatkan diri dengan mengaliri Sungai Batang Mahat.
Yang lari menyelamatkan diri dengan mengaliri sungai batang nahat inilah yang bergelar Dt Sati, konon kabarnya Dt Sati tadi lari dengan membawa emas dan perak yang dimasukan kedalam bambu yang dipotong kemudian ditutup ujung pangkalnya yang diberi nama dengan sebutan  “PIYAN” , tatkala terus mengaliri Sungai Batang Mahat tadi sampailah disebuah tempat yang bernama Ayieh Luluih dan terus lari menyelamatkan Piyanto, terbukalah sumbatnya maka dilihatlah isi dari piyan tadi ternyata emas yang ada didalam piyan lah lenyap, la hilang, la luluih masuk ke sungai Batang Mahat.
Kemudian rombongan Dt Sati tadi terus berjalan dan mengaliri sungai batang mahat, tibalah disuatu tempat dan menetap, diberilah nama tempat tersebut dengan nama KOTO PATAMUAN (pertemuan sungai batang mahat dengan sungai batang nenan).

Lama kelamaan anak kemanakan Dt Sati berkembang, maka dicarilah daerah baru dengan berjalan mengaliri sungai batang mahat, dan terlihat sebuah ngalau yang indah serta bermalam di sana, maka ngalau tersebut diberi nama Batu Kajang karena menyerupai sebuah Kajang/perahu.

III.                DT PADUKO RAJO

Kedatangan Dt Paduko Rajo ke Gunung Malintang bermula dari Rao Pasaman yang melanjutkan perjalanannya ke daerah Mungka dan berkembang pula di daerah ini dan terus berjalan menelusuri  Bukit barisan (Bukit Gadih) dan terus berjalan maka sampailah di daerah yang dinamai Pisang Karok dan terus mencari daerah baru untuk dijadikan pemukiman, maka terlihatlah dibawahnya tanah yang bagus untuk dijadikan perkampungan maka diberilah nama dengan KOTO BALIK BUKIT (karena letaknya persis dibawah dan dibaliak sebuah bukit).

IV.                DT GINDO SIMARAJO

Kedatangan Dt Gindo Simarajo “ Datuak ini berasal dari daerah jambi melalui sungai batang hari dan terus memasuki batang kampar dan terus menelusuri  sungai batang mahat, sampailah mereka di daerah ini yaitu di Jorong Koto Mesjid. Sesampainya dijorong koto mesjid, rombongan Dt ini permisi masuk dan mendiami daerah ini. Dan beranglah Dt Paduko rajo ke rombongan Dt Gindo Simarajo tadi dan dirusak lah kajang (sampan) dari Dt Gindo Simarajo dan kemudian diadakan penyelesaiannya.
Maka Dt Paduko rajo dikenakan sangsi atau hutang oleh Dt Gindo Simarajo “ hutang di bayie, salah ba timbang”. Lama kelamaan rombongan Dt Gindo Simarajo tadi dijadikan dunsanak oleh Dt Paduko Rajo.
Itulah riwayat mengenai kedatangan  awal Datuak nan Ampek di tanah Nagari Gunung Malintang.