Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Senin, 10 Desember 2012



MONUMEN PDRI : PERISTIWA SEJARAH DAN DESTINASI WISATA

Oleh
Ali Hasan,S.Sos

Sarilamak – Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) merupakan rangkaian peristiwa sejarah yang mengharumkan nama Kabupaten Lima Puluh Kota di tingkat nasional. PDRI lahir sebagai penyelamatan bagi eksistensi pemerintahan Republik Indonesia (RI). Sebenarnya Indonesia dan Belanda telah menyepakati Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Namun perjanjian ini bernasib serupa seperti Perjanjian Linggarjati yang diikrarkan pada tanggal 25 Maret 1947 dan diingkari oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 bersamaan dengan penyerangan pasukan belanda terhadap RI. Pengkhianatan tersebut melahirkan perang gerilya yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dengan menggunakan bambu runcing sebagai senjata.

Pada tanggal 18 Desember 1948, Dr. Beel (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) mengumumkan bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Menurut Ismael Hassan (Notulis perundingan Syafruddin-Natsir di Padang Jopang VII Koto Talago tahun 1949) dalam catatan Mr. Syafruddin Prawiranegara : Presiden Darurat, tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi Belanda menyerang Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta. Dan pada saat yang bersamaan, kota Bukittinggi yang disebut-sebut sebagai ibu kota kedua RI juga diserang.
Di Yogyakarta, Presiden Soekarno memimpin sidang darurat kabinet yang  dihadiri oleh Wakil Presiden M. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir, H.Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Ali Sastroamijoyo (Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan), Ir. Laoh (Menteri Pekerjaan Umum), dan Mr. A.G. Priggodigdo (Kepala Sekretariat Presiden). Sidang tersebut menghasilkan tiga keputusan. Yaitu Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri tidak akan meninggalkan Yogyakarta karena tidak adanya kepastian pengawalan yang mencukupi. Meski ada kemungkinan Presiden dan Wakil Presiden akan ditahan, namun tetap bisa berkomunikasi dengan PBB melalui Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat). Kedua, Wakil Presiden yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan akan memberikan himbauan melalui siaran radio agar semua anggota tentara dan rakyat melakukan perang gerilya. Sedangkan keputusan ketiga adalah menyangkut Pemerintahan Darurat yang telah disepakati semua anggota rapat. M. Hatta mengusulkan nama Syafruddin Prawiranegara yang dinilai sebagai anggota kabinet paling cakap dan paling cepat bergerak.

Dijelaskan Akmal Nasery Basral dalam buku Presiden Prawiranegara : Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia (2011 : 82-83), semua anggota rapat langsung menyetujui usul M. Hatta. Presiden dan Wakil Presiden akan mengirimkan radiogram kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang masih berada di Bukittinggi untuk segera membentuk sebuah Pemerintah Darurat lengkap dengan kabinet baru, serta melanjutkan pemerintahan sebagai konsekuensi seandainya terjadi penahanan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Susunan kalimat kawat yang akan dikirimkan kepada Syafruddin Prawiranegara menjadi perdebatan tersendiri. Rancangan awal kawat tersebut berbunyi, “Kami Presiden Indonesia, memberitahukan bahwa pada hari Minggu 19 Desember 1948 pukul 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan, kami menyerukan kepada seluruh rakyak untuk memilih pimpinan pemerintahan baru…” . 
Namun kalimat “Jika Presiden dan Wakil Presiden terbunuh…” mengundang kekhawatiran Sutan Syahrir yang cemas pemerintahan darurat bukan hanya terbentuk satu, melainkan berdiri di banyak tempat dan semuanya merasa menjadi pemerintahan darurat yang sah. Akhirnya kalimat kedua dari kawat itu diubah menjadi, “Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Rancangan baru ini memuaskan Sutan Syahrir dan disepakati oleh seluruh peserta rapat, sehingga bunyinya secara lengkap menjadi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan, bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintahan tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera”. Kawat ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta.
Sebuah rancangan kawat kedua juga disiapkan untuk dikirimkan kepada Dr. Sudarsono, Duta Besar Indonesia di India, dan Mr. Alex Maramis (Menteri Keuangan) yang sedang berada di New Delhi untuk tugas negara. Isi kawat tersebut adalah, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00,  Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Goverment Republic Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya”. Radiogram ini ditandatangani oleh Wakil Presiden M. Hatta dan H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri).
Tidak lama kemudian Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri ditangkap oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 jam 09.00 pagi di Gedung Tamu Agung (Tri Arga-Istana Bung Hatta) Bukittinggi diadakan pertemuan yang dihadiri oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan, Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), Mr. Lukman Hakim, Kol. Hidayat, Kombes Pol. Umar Said, dan Mr. Moh. Nasroen (Gunbernur Sumatera Tengah) membicarakan kondisi. Karena keadaan yang tidak memungkinkan, maka pertemuan diundur. Dan sore harinya, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Kol. Hidayat datang ke kediaman Ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hasan di jalan atas Ngarai untuk melanjutkan perundingan.

Hasil akhir perundingan, Mr. Teuku Mohammad Hasan mengatakan “Ketika itu juga kami tetapkan bahwa di Sumatera, yaitu Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1948 jam 18.00 telah dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”, dengan ketua Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua dan wakil ketua dijabat oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Keputusan pertama yang diambil adalah instruksi agar seluruh pejabat pemerintah yang ada di Bukittinggi untuk segera menuju Halaban pada jam 21.00. Rombongan Syafruddin-Tengku Moh. Hasan tiba menjelang Subuh. Dan dua hari kemudian disusul oleh rombongan Mr. St. Moh. Rasjid.

Tanggal 22 Desember 1948 jam 04.30 di Halaban, diumumkan pembentukan PDRI dengan susunan kabinet sebagai berikut :
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara             : Ketua
b. Mr. Teuku Moh. Hasan                       : Wakil Ketua
c. Mr. St. Moh. Rasjid                            : Menteri Keamanan/Sosial/Pembangunan/Pemuda
d. Mr. Lukman Hakim                             : Menteri Keuangan/Kehakiman
e. Ir. M. Sitompul                                   : Menteri Pekerjaan Umum/Kesehatan
f. Ir. Indracaya                                       : Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran
g. RM. Danubroto                                  : Sekretaris

Sedangkan untuk wilayah pulau Jawa dibentuk Komisariat PDRI di bawah pimpinan Mr. Susanto Tirtoprojo, I.J. Kasimo, KH. Masjkur, Supeno, dan Panji Suroso. Panglima Besar Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang PDRI, Kol. A.H. Nasution menjadi Panglima Tentara Teritorial Jawa, Kol. Hidayat menjadi Panglima Tentara Teritorial Sumatera, Kol (Laut) M. Nazir menjadi Panglima Angkatan Laut, dan Kol (Udara) H. Sujono menjabat Panglima Angkatan Udara.

Sumatera Tengah (Sumatera Barat) telah lama bersiap menghadapi segala kemungkinan. Front Pertahanan Nasional (FPN) dibentuk, dilanjutkan dengan Dewan Perjuangan, kemudian menjadi Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) dengan Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK), dan disempurnakan dengan Pasukan Mobil Teras (PMT-BPNK). Koto Tinggi dipilih menjadi pusat pemerintahan dimana Mr. St. Moh. Rasjid sebagai Gubernur Militer Sumatera Barat dan sebagai salah seorang menteri PDRI bermarkas. PDRI dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari menempuh siasat dengan berpencar. Bidar Alam, salah satu desa di Solok Selatan menjadi pusat pemerintahan PDRI paling lama. Di tempat ini, Mr. Syafruddin Prawiranegara bermukim dan memimpin sidang-sidang kabinet selama lebih kurang tiga setengah bulan.

Pemberian mandat pengalihan kekuasaan memang tidak pernah sampai ke tangan Mr. Syafruddin, tetapi jauh sebelumnya Wakil Presiden Hatta telah memberi perhitungan matang soal kemungkinan penyerangan oleh pasukan Belanda, dan secara lisan telah menyampaikan kemungkinan mandat tersebut dikeluarkan. Di atas kebutuhan bangsa dan negara Indonesia masa depan, Syafruddin mengambil kepercayaan sejarahnya meski ia tahu pengangkatannya pasca agresi Belanda itu antara ada dan tiada. Mr. Syafruddin Prawiranegara mempunyai keberanian untuk bertindak dan memikul tanggung jawab untuk menyelamatkan bangsa. Inisiatif itu terlepas dari instruksi Yogya yang tertuang dalam mandat Presiden dan tidak pernah sampai di tangan Syafruddin. Akan tetapi pemikiran yang berkembang dan inisiatif yang diambil itu sejajar dengan pemikiran di tingkat pusat yang dituangkan dalam mandat tersebut.

Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dalam menegakkan PDRI telah diakui oleh pemerintah pusat. Tanggal 18 Desember 2006 di kota Padang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 dan menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara (HBN). Dalam salah satu poin pertimbangannya disebutkan bahwa, “Tanggal 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal tersebut terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam rangka mengisi kekosongan kepemimpinan Pemerintahan Negara Republik Indonesia dalam rangka bela negara”. Dengan keluarganya Keppres tersebut merupakan kebanggaan Kabupaten Lima Puluh Kota dan Sumatera Barat, karena baru pertama kali peristiwa sejarah di luar pulau Jawa ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional.

Sejarah mencatat, selama perang gerilya menghadapi Belanda, Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan basis perjuangan PDRI dan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Tengah. Dalam perkembangan sejarah memang ada pengaburan yang menyebutkan pusat PDRI berada di Bukittinggi. Namun jika dicermati dari saksi hidup sejarah PDRI maka hal tersebut telah terbantahkan dengan sendirinya. Dalam rentang sejarah, di Kabupaten Lima Puluh Kota terhimpun kekuatan militer dengan Koto Tinggi sebagai basisnya. Dan dari Koto Tinggi dan Ampalu Halaban siaran radio bisa ditangkap oleh luar negeri, sebagai tanda bahwa RI masih ada.

Bupati dr. Alis Marajo sendiri dalam Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2010 tanggal 20 Desember 2010 Tentang Penetapan dan Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Bela Negara dan Rangkaian Peristiwanya di Kabupaten Lima Puluh Kota telah menetapkan lokasi peringatannya, yaitu :
  1. Peristiwa konsolidasi Komando Sumatera dan pembentukan Gubernur Militer, Bupati Militer, dan Wedana Militer yang menuju Koto Tinggi tanggal 19 Desember 1948 ;
  2. Peristiwa pengumuman Kabinet PDRI di Halaban yang terjadi tanggal 22 Desember 1948 ;
  3. Peristiwa gugurnya sembilan syuhada (BPNK) di Titian Dalam Nagari Pandam Gadang tanggal 10 Januari 1949 ;
  4. Peristiwa penyerangan para pemimpin PDRI oleh Belanda dan kaki tangannya di wilayah Situjuah Batua tanggal 15 Januari 1949 ;
  5. Peristiwa Koto Tuo Lautan Api tanggal 10 Juni 1949 ;
  6. Peristiwa perundingan antara utusan pemberi mandat/pemerintahan RI dengan pemimpin PDRI di Padang Jopang tanggal 6 Juli 1949 ;
  7. Peristiwa rapat umum pimpinan PDRI dengan masyarakat di Koto Kaciak tanggal 7 Juli 1949.

Tak hanya mengakui tanggal terbentuknya PDRI sebagai Hari Bela Negara, pemerintah juga telah memberikan gelar “Pahlawan Nasional” kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pemberian gelar tersebut dilaksanakan dalam rangkaian peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 dan didasarkan pada hasil Sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada tanggal 25 Oktober 2011, dengan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Tanggal 8 November 2011 di Istana Negara, Presiden SBY berkenan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Syafruddin. Gelar yang juga diberikan kepada enam putra terbaik bangsa ini, diterima oleh ahli waris Syafruddin Prawiranegara dan disambut gembira oleh masyarakat Sunda, Banten, dan Sumatera Barat.


MONUMEN PDRI SEBAGAI DESTINASI WISATA
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-14-2011 tanggal 17 Januari 2011 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Monumen dan Tugu Bela Negara, diputuskan bahwa lokasi pembangunan Monumen Bela Negara adalah di Koto Tinggi Kecamatan Gunung Omeh Kabupaten Lima Puluh Kota. Kemudian untuk mempercepat pembangunan Monumen Bela Negara tersebut, maka dikeluarkan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 450-320-2011 Tanggal 6 Juni 2011 dengan lokasi Pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh serta Tugu Bela Negara di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban.

Monumen PDRI layak dibangun di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya di Jorong Aia Angek Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh dengan pertimbangan sebagai berikut :
  1. Posisi dan nilai penting PDRI sebagai bagian dari tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan,
  2. Kondisi situasi atau monumen yang ada mempresentasikan nilai penting dan perannya bagi tegaknya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar,
  3. Pentingnya menumbuhkembangkan dan membangun semangat patriotisme, nasionalisme, dan kejuangan bagi generasi penerus bangsa untuk memperkuat keunggulan dan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah pergaulan internasional.

Perjuangan PDRI merupakan sumbangan terbesar Sumatera Barat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk itulah perlu dibangun suatu monumen untuk menguatkan posisi Sumatera Barat dalam sejarah awal pemerintahan Indonesia.  Monumen PDRI akan dibangun di atas tanah seluas 50 hektar. Untuk tahap awal, pembangunan Monumen akan difokuskan pada tanah seluas 20 hektar. Peletakan batu pertama direncanakan dilakukan pada tanggal 19 Desember 2012, bertepatan dengan upacara peringatan Hari Bela Negara di lokasi pembangunan Monumen PDRI. Monumen PDRI akan menjadi kawasan wisata sejarah, edukasi, dan kuliner.

Kawasan monumen PDRI termasuk ke dalam Wilayah Pengembangan Pariwisata Daerah (WPPD) 4, yaitu berada di kecamatan Bukit Barisan, kecamatan Suliki, dan kecamatan Gunung Omeh. WPPD ini terdiri dari dua Sub Wilayah Pengembangan Pariwisata (SWPP) dengan pusat pengembangan adalah Menhir Maek dan Tugu PDRI yang didukung oleh sepuluh objek wisata pendukung. Rencananya kawasan monumen PDRI ini akan terdiri dari monumen, plaza, medan bapaneh, gedung seminar, Mushalla, pertokoan, danau buatan, cottage area, auditorium, Kampus Bela Negara, dan restoran.