Sako adalah gelar
ninik mamak, misalnya Dt. Sori marajo, atau penghulu “pewarisannya adalah turun
temurun, artinya dari mamak kepada “kemenakan”, kemenakan disini bisa bersifat
langsung atau juga bersifat tak langsung, misalnya kakak laki-laki dari si
Datuak tadi maka sebutannya juga kemenakan.
Urutan turun
temurun yang akan mewarisi sako Datuak, pertama bertali darah, kalu sudah tidak
ada lagi yang bertali darah, maka urutan kedua pewarisnya adalah batali adat,
kalau tidak ada pula yang bertali adapt, maka jatuhnya kepada batali budi,
tetapi kalau tidak ada lagi batali budi, maka jatuhnya kepada kelompok yang
batali ameh jo perak.
Sebutan sakonya
kalau ada yang masih batali darah maka sebutannya sako Datuak utuh misalnya Dt.
Bandaro, kalau jatuhnya kepada batali adapt maka sebutannya Dt. Bandaro nan
kuniang (kuniang dek baralek), kalau jatuhnya kepada batali budi maka
sebutannya Dt. Bandaro nan hitam (dek badamai) atau Datuak bandaro nan putiah
(dek bakarelaan), tetapi kalau jatuhnya kepada kemenakan batli ameh perak maka
biasanya disebut Dt. Bandaro nan kayo (kayo dek ameh perak), hal ini pewarisan
ini terjadi biasanya kaalu adapt nan diadatkan dalam suatu nagari itu adalah
adapt lareh nan bunta (adapt bodi caniago). Kalau adapt disuatu nagari itu
adalah koto piliang atau lareh nan gadang maka kalau tidak ada lagi yang
bertali darah, maka tidak dapat diwarisi lagi, dihanyutkan.
Konon kabarnya
dinagari-nagari dengan sistem kelarasan yang tertuapun yang kita sebut dengan
lareh nan panjang hal ini juga tidak dapat diwarisi lagi. Akan tetapi pada
sistem kelarasan lareh nan bunta maka hal ini dapat diwarisi dengan urutan
batali darah, batali adat, batali budi dan batali ameh jo perak.
Tentang “pusako”
atau pisako, adalahg harta dalam hal ini termasuk tanah, air, dan alam lainnya.
Didalam komunitas masyarakat minangkabau semua harta termasuk gunung dan rimba
belantarapun semuanya terbagi habis, hal ini dap[at kita dengar ungkapan
minangkabau yang berbunyi “sahalai rumpuik, sabingka tanah, sebuah capo”
dinagari ko ado nan punyo,”hak bamiliak, barato punyo.
Tentang pusako ada
dua macam yaitu pusako randah ialah harta yang cara memperolehnya mungkin saja
jual beli yang jelas siapa penjual, dan siapa pembeli, atau dalam bahasa
minang,”dapek dek ameh perak”, biasanya harta ini adalah akibat pencarian
kehidupan pasangan suami istri, harta ini tetap pewarisnya sesuai dengan garis
keibuan sesuai sistim matrilineal yang berlaku di minangkabau, kalau misalnya
seorang ayah mewariskan kepada seorang anaknya yang laki-laki, maka anaknya ini
akan memberikan hak miliknya kepada adiknya yang perempuan dan kalau tidak
terdesak oleh kehidupan biasanya anak laki-laki ini tidak akan mengganggu gugat
pemberian bapaknya ini, kalau terpaksa adik perempuannya ini (kalau bersuami)
yang mengatasi kesulitan kakak laki-lakinya itu.
Yang kedua adalah
harta pusako tinggi yaitu harta yang tidak dapat diketahui lagi cara
memperolehnya oleh kaum itu akan tetapi sudah diwarisi turun menurun. Harta
pusako tinggi ini bukanlah milik pribadi-pribadi, akan tetapi disebut dengan
“ulayat suku”, ulayat payuang (kampuang), ulayat paruik, dan ganggam bauntuak
kaum dinagari, maka sering inilah yang disebut dengan “ulayat dinagari” jadi
bukanlah ulayat nagari.
Harta pusako tinggi
inilah yang tidak dapat diperjual belikan, juga tidak dapat digadaikan, akan
tetapi dapat dipakai dalam jangka waktu atau disewakan, dan semuanya memakai
sistim ke minangkabau “adapt dipakai limbago dituang, alua dituruik, undang
dilukih “harta pusako tinggi ini otoritas penguasaan berada ditangan ninik
mamak (Datuak), sementara ganggam bauntuak, artinya pusako tinggi yang
diperhakkan untuk sebuah jurai kaum dalam jangka waktu, misalnya kalau jangka
waktu itu adalah untuk selama-lamanya disebut dalam bahasa adapt “salamo
kuciang mangeong atau salamo hariamu balang”, kalau diperuntukkan hanya seumur
kaumitu disebut “salamo hiduik atau salamo seseorang itu belum mendapat
pencarian dalam bentuk lain”.
Pada prinsipnya
secara budaya sebuah harta pusako tinggi tidak dapat berpindah hak kepada pihak
lain, tetapi kalau pihak lain itu sudah menjadi atau merupakan tali adapt
dengan pemegang hak ulayat maka dapat berobah menjadi ganggam bauntuak.
Demikianlah pada
zaman lampau, misalnya ketika terjadi perang paderi tahun 1821-1837, banyak
sekali tentara sentot didatangkan oleh pemerintah belanda untuk membantu
belanda dalam melawan paderi, sampai akhirnya tuanku imam bonjol dibuang ke
manado, maka tentara sentot itu tidak lagi pulang ke negrinya, ada yang berasal
dari jawa tengah, ada berasal dari jawa barat, mereka itu dijadikan kemenakan
dalam nagari, diberi suku dan diberi sawah setumpak, atau peladangan dalan
ganggam bauntuak, bukan hanya bekas anak buah sentot, buruh-buruh yang
mengerjakan jalan raya Padang-Pekanbaru pun sekitar tahun 1900 an, ada dari
nias dan sebagainya, maka mereka diberi suku dan bermamak dengan suku yang ada
dinagari tersebut. Demikianlah caranya orang minang menerima dengan ikhlas para
pendatang untuk dijadikan sebagai “dunsanak”. Inilah implikasi pemahaman adapt
nan tigo pakaro “baso jo basi, siriah jo pinang, sambah manyambah”, artinya
tidak ingin konflik tidak radikal dalam pituah minangkabau dikatakan “usak tak
tasenseng dalam tak dapat di ajuak”.
Pusako dalam artian
ulayat di minangkabau pewarisnya sesuai dengan kaedah adapt yang berbunyi “sako
turun temurun, pusako jawek bajawek”. Lalu bagaimana pemahaman “jawek” itu,
disinilah kita lihat ada makna yang terkandung dalam menyebutkan nama suku di
minangkabau, dan urutan ini adalah konfensi yang sangat bersifat intitif,
umpamanya bagaimana urutan suku suku dalam kelompok suku nan anam
(pitopang)yaitu jambak-pitopang, salo kutianyia, buluhkasok-banuhampu, artinya
kalau suku jambak punah, maka pusakonya dijawek oleh suku pitopang, kalau suku
pitopang punah, maka dijawek(diwariskan kepada) suku salo, kalau suku ini juga
punah, maka dijawek oleh suku kutianyia, kalau punah pula suku ini maka di
wariskan kepada suku buluh kasok, kalau suku ini juga punah maka diwariskan
kepada suku banuhampu. Kalau kelompok suku “nan anam” ini semuanya punah, maka
diwariskan kepada suku nan limo (melayu, bendang, kampai, mandahiliang,
domo/panai), dan urutan pewarisnya pun berurutan dari melayu sampai Domo/panai.
Kalau kelompok suku
ke II ini juga punah maka dijawek oleh suku ke III (kelompok sembilan) yaitu
urutannya meliputi Koto-piliang, tanjuang-payobada, sikumbang-picancang,
simabua-sipisang. Selanjutnya kalau kelmpok ke III ini juga punah, maka
diwariskan kepada kelompok suku keempat yaitu meliputi urutannya sebagai
berikut : bodi-caniago, supanjang-sumagek, singkuang-mandaliko, balai mansiang.