Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Sabtu, 24 Desember 2011

PEWARISAN SAKO DAN PUSAKO


            Sako adalah gelar ninik mamak, misalnya Dt. Sori marajo, atau penghulu “pewarisannya adalah turun temurun, artinya dari mamak kepada “kemenakan”, kemenakan disini bisa bersifat langsung atau juga bersifat tak langsung, misalnya kakak laki-laki dari si Datuak tadi maka sebutannya juga kemenakan.
            Urutan turun temurun yang akan mewarisi sako Datuak, pertama bertali darah, kalu sudah tidak ada lagi yang bertali darah, maka urutan kedua pewarisnya adalah batali adat, kalau tidak ada pula yang bertali adapt, maka jatuhnya kepada batali budi, tetapi kalau tidak ada lagi batali budi, maka jatuhnya kepada kelompok yang batali ameh jo perak.
            Sebutan sakonya kalau ada yang masih batali darah maka sebutannya sako Datuak utuh misalnya Dt. Bandaro, kalau jatuhnya kepada batali adapt maka sebutannya Dt. Bandaro nan kuniang (kuniang dek baralek), kalau jatuhnya kepada batali budi maka sebutannya Dt. Bandaro nan hitam (dek badamai) atau Datuak bandaro nan putiah (dek bakarelaan), tetapi kalau jatuhnya kepada kemenakan batli ameh perak maka biasanya disebut Dt. Bandaro nan kayo (kayo dek ameh perak), hal ini pewarisan ini terjadi biasanya kaalu adapt nan diadatkan dalam suatu nagari itu adalah adapt lareh nan bunta (adapt bodi caniago). Kalau adapt disuatu nagari itu adalah koto piliang atau lareh nan gadang maka kalau tidak ada lagi yang bertali darah, maka tidak dapat diwarisi lagi, dihanyutkan.
            Konon kabarnya dinagari-nagari dengan sistem kelarasan yang tertuapun yang kita sebut dengan lareh nan panjang hal ini juga tidak dapat diwarisi lagi. Akan tetapi pada sistem kelarasan lareh nan bunta maka hal ini dapat diwarisi dengan urutan batali darah, batali adat, batali budi dan batali ameh jo perak.
            Tentang “pusako” atau pisako, adalahg harta dalam hal ini termasuk tanah, air, dan alam lainnya. Didalam komunitas masyarakat minangkabau semua harta termasuk gunung dan rimba belantarapun semuanya terbagi habis, hal ini dap[at kita dengar ungkapan minangkabau yang berbunyi “sahalai rumpuik, sabingka tanah, sebuah capo” dinagari ko ado nan punyo,”hak bamiliak, barato punyo.
            Tentang pusako ada dua macam yaitu pusako randah ialah harta yang cara memperolehnya mungkin saja jual beli yang jelas siapa penjual, dan siapa pembeli, atau dalam bahasa minang,”dapek dek ameh perak”, biasanya harta ini adalah akibat pencarian kehidupan pasangan suami istri, harta ini tetap pewarisnya sesuai dengan garis keibuan sesuai sistim matrilineal yang berlaku di minangkabau, kalau misalnya seorang ayah mewariskan kepada seorang anaknya yang laki-laki, maka anaknya ini akan memberikan hak miliknya kepada adiknya yang perempuan dan kalau tidak terdesak oleh kehidupan biasanya anak laki-laki ini tidak akan mengganggu gugat pemberian bapaknya ini, kalau terpaksa adik perempuannya ini (kalau bersuami) yang mengatasi kesulitan kakak laki-lakinya itu.
            Yang kedua adalah harta pusako tinggi yaitu harta yang tidak dapat diketahui lagi cara memperolehnya oleh kaum itu akan tetapi sudah diwarisi turun menurun. Harta pusako tinggi ini bukanlah milik pribadi-pribadi, akan tetapi disebut dengan “ulayat suku”, ulayat payuang (kampuang), ulayat paruik, dan ganggam bauntuak kaum dinagari, maka sering inilah yang disebut dengan “ulayat dinagari” jadi bukanlah ulayat nagari.
            Harta pusako tinggi inilah yang tidak dapat diperjual belikan, juga tidak dapat digadaikan, akan tetapi dapat dipakai dalam jangka waktu atau disewakan, dan semuanya memakai sistim ke minangkabau “adapt dipakai limbago dituang, alua dituruik, undang dilukih “harta pusako tinggi ini otoritas penguasaan berada ditangan ninik mamak (Datuak), sementara ganggam bauntuak, artinya pusako tinggi yang diperhakkan untuk sebuah jurai kaum dalam jangka waktu, misalnya kalau jangka waktu itu adalah untuk selama-lamanya disebut dalam bahasa adapt “salamo kuciang mangeong atau salamo hariamu balang”, kalau diperuntukkan hanya seumur kaumitu disebut “salamo hiduik atau salamo seseorang itu belum mendapat pencarian dalam bentuk lain”.
            Pada prinsipnya secara budaya sebuah harta pusako tinggi tidak dapat berpindah hak kepada pihak lain, tetapi kalau pihak lain itu sudah menjadi atau merupakan tali adapt dengan pemegang hak ulayat maka dapat berobah menjadi ganggam bauntuak.
            Demikianlah pada zaman lampau, misalnya ketika terjadi perang paderi tahun 1821-1837, banyak sekali tentara sentot didatangkan oleh pemerintah belanda untuk membantu belanda dalam melawan paderi, sampai akhirnya tuanku imam bonjol dibuang ke manado, maka tentara sentot itu tidak lagi pulang ke negrinya, ada yang berasal dari jawa tengah, ada berasal dari jawa barat, mereka itu dijadikan kemenakan dalam nagari, diberi suku dan diberi sawah setumpak, atau peladangan dalan ganggam bauntuak, bukan hanya bekas anak buah sentot, buruh-buruh yang mengerjakan jalan raya Padang-Pekanbaru pun sekitar tahun 1900 an, ada dari nias dan sebagainya, maka mereka diberi suku dan bermamak dengan suku yang ada dinagari tersebut. Demikianlah caranya orang minang menerima dengan ikhlas para pendatang untuk dijadikan sebagai “dunsanak”. Inilah implikasi pemahaman adapt nan tigo pakaro “baso jo basi, siriah jo pinang, sambah manyambah”, artinya tidak ingin konflik tidak radikal dalam pituah minangkabau dikatakan “usak tak tasenseng dalam tak dapat di ajuak”.
            Pusako dalam artian ulayat di minangkabau pewarisnya sesuai dengan kaedah adapt yang berbunyi “sako turun temurun, pusako jawek bajawek”. Lalu bagaimana pemahaman “jawek” itu, disinilah kita lihat ada makna yang terkandung dalam menyebutkan nama suku di minangkabau, dan urutan ini adalah konfensi yang sangat bersifat intitif, umpamanya bagaimana urutan suku suku dalam kelompok suku nan anam (pitopang)yaitu jambak-pitopang, salo kutianyia, buluhkasok-banuhampu, artinya kalau suku jambak punah, maka pusakonya dijawek oleh suku pitopang, kalau suku pitopang punah, maka dijawek(diwariskan kepada) suku salo, kalau suku ini juga punah, maka dijawek oleh suku kutianyia, kalau punah pula suku ini maka di wariskan kepada suku buluh kasok, kalau suku ini juga punah maka diwariskan kepada suku banuhampu. Kalau kelompok suku “nan anam” ini semuanya punah, maka diwariskan kepada suku nan limo (melayu, bendang, kampai, mandahiliang, domo/panai), dan urutan pewarisnya pun berurutan dari melayu sampai Domo/panai.
            Kalau kelompok suku ke II ini juga punah maka dijawek oleh suku ke III (kelompok sembilan) yaitu urutannya meliputi Koto-piliang, tanjuang-payobada, sikumbang-picancang, simabua-sipisang. Selanjutnya kalau kelmpok ke III ini juga punah, maka diwariskan kepada kelompok suku keempat yaitu meliputi urutannya sebagai berikut : bodi-caniago, supanjang-sumagek, singkuang-mandaliko, balai mansiang.

JABATAN ADAT


             Dalam suatu nagari katakanlah suatu nagari dalam sistim adatnya “koto piliang” atau yang kita sebut dengan lareh nan gadang seperti yang kita jelaskan tadi selalu orang bertanya siapa kaampek suku nagari ini, maka seorang ninik mamak yang memahami seluk beluk adapt dinagari itu, akan memberikan jawaban : kaampek suku sembilan Dt. Sarumpun, kaampek suku caniago adalah Dt. Paduko tuan, kaampek suku pitopang adalah Dt. Junjungan, dan kaampek suku melayu adalah Dt. Sori marajo. Lalu kita akan tanyakan apakah kaampek suku ini dipilih karena kepintarannya? Maka ninik mamak itupun lantang menjawab bukanlah karena kepintarannya, dan ini adalah sako adapt. Selanjutnya ninik mamak ini menguraikannya lagi, Dt. Sarumpun adalah pasak kunci nagari, sedangkan Dt, junjungan adalah pasak kungkuang nagari, dan Dt. Sori marajo adalah pasak jalujua nagari. Lalu ditanya lagi, apakah itu pasak kunci nagari, maka beliau menjawab bahwa Dt sarumpun sebagai penghulu yang akan membuka balai atau dengan pengertian lain yang akan membuka setiap musyawarah adapt dibalai itu, sementara Dt. Panduko tuan adalah orang yang mengetahui tentang sako(susunan kepenghuluan), serta yang maha tahu tentang pusako dalam artian harta ulayat yang ada dalam nagari itu, kemudian Dt. Junjungan adalah yang akan memelihara setiap undang kesepakatan yang dibuat dalam nagari itu menurut adapt dan Dt. Sori marajo adalah berfungsi menjelaskan kepada ninik mamak andiko tentang musywarah mufakat adapt yang diselenggarakan dinagari itu.
            Lalu apa beda kaampek suku dengan penghulu yang lain, maka ninik mamak yang mengetahui itu menberi jawaban, bahwa Datuak kaampek suku itu memiliki “harato tagak”, serta ninik mamak kaampek suku mempunyai perangkat seperti ada andiko manti, ada mualim atau tuanku, ada Dubalangnya dan nama suraunya pun lengkap, seperti Dt. Sarumpun mempunyai tuanku nan tuo, suraunya pun diberi nama “surau tuanku nan mudo”, Dt. Sori marajo mempunyai tuanku nan elok, suraunya pun mempunyai nama tuanku nan elok. Oleh karenanya kaampek suku itu bukanlah karena kepintarannya, atau oleh kepemimpinannya akan tetapi adalah sako adapt yang turun temurun. Berdasarkan hal itulah “penghulu”adalah sebutan untuk menyimpan nilai-nilai kearifan, hal inilah makna dari “penghulu nan babudi artinya manabang indak rabah, mamancuang indak putuih” inilah yang disebut “kato pusako”, pada dasarnya sebutan manti, sebutan Dubalang, dan mualim semuanya adalah perangkat sistim adapt, pada umumnya semuanya ada yang bergelar Datuk, tetapi dibeberapa daerah ada yang tidak mencantumkan Datuk didepan gelarnya dan sakonya.
            Jadi manti adalah orang pintar atau disebut orang cerdik cendikia(cadiak candokio). Fungsinya dalam suatu sistim adapt adalah melakukan studi dan siasat dalam artian mencari alas an-alasan pembenaran secara akal sehat atau ynag sekarang disebut dengan kecerdasan sosial, manti mencari kebenaran sesuatu hal melakukan musyawarah dengan pihak-pihak terkait dengan menggunakan dasar musyawarah dan mufakat dengan arif dan bijak, maka dalam adagium adapt minangkabau, kato manti adalah “Kato Mufakat”.
            Disisi lain tentang mualim adalah orang yang tahu tentang ilmu baik itu adapt dan lain-lainnya, dan salah satu tanda orang berilmu, adalah setiap pembicaraannya terukur dengan dalil, aksioma maka disebut dalam adagium adapt bahwa kato mualim “Kato Badalalat”.
            Dubalang sendiri konon kabarnya berasal dari bahasa tamil yang artinya adalah orang cerdik pandai, yang maha tahu tentang kemungkinan dan keputusan suatu hal yang sedang berlaku atau kalaulah kita terjemahkan mungkin itu adalah hasil berfikir Rasional, dan patut itu adalah kerangka berfikir empiric. Jadi dengan demikianyang disebut kualitas sumber daya manusia minangkabau adalah manusia yang mempunyai Budi, Berakal, Berilmu, dan memahami Mungkin dan patut, dalam artian lain keempat hal ini (Budi, akal, ilmu, mungkin dan patut) adalah nilai dasar adapt minangkabau yang terbentuk sejak manusia minangkabau itu ada, kalulah kita katakan bahwa keempat itu boleh disebut dengan Taksonomi minangkabau (efektif domain/Budi, Emotional Quotion/akal, ilmu/Rational Quotion, mungkin (Rasional, dan patut/empirik).keempat nilai-nilai dasar inilah yang sangat cocok dengan dasar syarak yang juga mempunyai jumlah yang empat buah yaitu : hakekat, tharikat, makrifat, dan syariat. Dengan demikian pemahaman “adapt basandi jo syarak, syarak basandi jo kitabullah “ artinya yang sesungguhnya adalah hanya islamlah yang dapat memperkokoh adapt minangkabau.
            Analogi nilai nilai dasar yang berjumlah empat inil, merupakan dasar terminologi lambing manusia minangkabau, artinya seorang minangkabau harus tahu dengan yang empat berawal kenal dengan air, api, angin dan tanah, memahami “ kato nan ampek” yaitu kato pusako, kato mufakat, kato badalalat, kato mahimbau.
            Indikasi ini terlihat manakala dua orang berbeda pendapat mengadu kepada seorang penghulu untuk menyelesaikan perkaranya, maka sang datuk tadi memberi jawaban agar persoalan kalian diselesaikan secara damai, ungkapan penghulu secara kalasaiknya “cari sajalah nan elok”, yaitu definisinya katuju dek awak dan lamak dek urang lain, artinya jangan sebuah keputusan penyelesaian ada bahagian yang dirugikan dan adapula bahgian yang dimenangkan. Sebagai ilustrasi, dapat kita lihat misalnya ada perkara antara dua anak kemenakan lalu mengadu kepada dubalang, maka dubalang mengatakan bahwa tudak mungkin kalian berdua berselisih paham atau berkelahi oleh karena antara kalian berdua “Ba Bako dan Ba Babaki” artinya saling terkait hubungan famili, atau misalnya kedua insan yang berlainan jenis, yang hubungannya sudah sangat dekat katakanlah dengan istilah sekarang berpacaran, lalu dinasehati oleh dubalang, maka dubalang adat mengatakan bahwa tidak mungkin kalian meneruskan hubungan oleh karena kalian satu suku, dan kalau kalian teruskan juga mungkin saja ninik mamak kalian akan terutang kepada nagari, dalam hal ini terhutang kepada nagari adalah salah satu sanksi undang adapt dalam nagari, yang kita sebut dengan adapt nan teradat. Lalu ada lagi dua kelompok yang saling mengadu kepada dubalang adapt, dimana suatu kelompok kehilangan barang dagangannya, maka dubalang berkata patut untuk dikadukan kepada polisi, inilah arti dubalang yang tahu meletakkan mungkin dan patut.
            Kita telah singgung diatas tentang apa itu “adapt” kalau kita tanyakan kepada ninik mamak, katakanlah seorang “datuk”, maka datuk menjawab : adapt itu ada “ampek pakaro”, nan pertamo adalah baso jo basi, nan kaduo sambah manyambah, nan katigo siriah jo pinang dan nan kaampek adalah alue nan baturuk “kalimat jawaban ini belum selesai seperti itu, akan tetapi dilanjutkan dengan “adat tapakai, undang talukih, limbago tatuang, alua taturuik, syarak talazimkan.
            Dalam wujud pemahamannya bahwa adapt itu adalah alat komunikasi  dengan orang lain secara harmonis dengan meletakkan dasar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan rusaknya hubungan antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya, adapt suatu bacaan, akan tetapi terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Undang talukih, artinya tergambar dalam bentuk lambing fisik tentang hubungan atau jalan adapt satu dengan kelompok dengan kelompok lainnya.
            Kita ketahui bersama hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam tatanan masyarakat minangkabau ada 4 bahagian yaitu “batali darah, batali adapt, batali budi dan batali ameh jo perak. Batali darah adalah sesuai dengan silsilah keturunan menurut garis ke ibuan (matrilineal), semetara batali adapt, adapt dua hal : pertama adalah batali sako artinya sama-sama mengakui bahwa penghulunya misalnya Dt. Bandaro tetapi bagaimana gambaran silsilahnya tidak dapat diketahui lagi oleh karena sudah sangat panjang sekali, yang kedua adalah batali pusako yaitu sawahnya saling berdekatan, ladangnya saling berdekatan, tanjungnya saling bersekatan.
            Yang ketiga batali budi, jelas kelompok ini dijadikan dunsanak oleh kelompok yang menerima dan dikukuhkan dengan ritualis adapt, misalnya diberi setumpak sawah atau lading, akan tetapi kelompok yang memberi lading itu harus menjadi “mamak” dari kelompok yang diberi lading, dan mereka diberi nama suku sama dengan suku yang memberi harta tadi.
            Yang keempat adalah batali ameh perak, pengertian batali menurut ninik mamak adalah diberi suku dulu sesuai dengan suku asal si penerima, kemudian baru si pendatang itu diadakan upacara manarimo kamanakan artinya menjadikan orang tadi sebagai kemenakan, setelah itu barualah terjadi proses tukar menukar atau imbal jasa, mungkin juga jual beli tanah, sawah dan harta lain tadi.
            Ameh perak adalah lambang surat berharga seperti uang yang terhitung, atau emas yang berbungkal. Atau perak nan bertahil, lalu disebutkan bahwa harta yang diberikan sebagai imbal jasa tadi dikatakan gamgam bauntuak.
            Jadi jual beli dalam bahasa dan adapt minangkabau adalah “ameh perak” maka dikatakan bahwa ganggam bauntuak itu dapat dibagi : ganggam  bauntuak salamo harimau balang artinya dimliki terus menerus, atau adapula ganggam bauntuak sakaturunan artinya satu generasi (50 tahun), maka pengertian ganggam bauntuak adalah di ganggam dalam adapt dan diuntuakkan dalam limbago atau kesepakatan kaum. Hal ini merupakan dasar adat minangkabau dalam aspek “adapt nan diadatkan” atau dalam mewariskan sako Datuak yang turun menurun.

TATA RUANG NAGARI


            Secara geneoloigis kekrabatan  diatas telah kita uraikan bahwa nagari secara kekerabatan terdiri dari suku, apayung dan buah paruik. demikian pula tentang nagari sebagai wilayah territorial adapt terdiri dari taratak, dusun, koto pakandangan.
            Dalam istilah adapt dikenal istilah “nan data tampek barumahan, nan barai tampek kasawah, nan lereng tampek baladang, tranjuang tampek paninjauan, guguak tampek bakubua.
            Setiap suku umunya mempunyai kondisi alam seperti yang kita sebut diatas, sehingga hal ini menjadi identitas sebuah suku dan keberadaannya dinagari artinya kalau sebuah kelompok suku tidak memiliki misalnya tanjuang, berarti suku tersebutmungkin munculnya tidak tumbuh sejak nagari itu dibuat oleh pendahulunya.
            Dalam perkembangannya maka nagari itupun perlu ba balai, ba musajik, ba galanggang dan batapian. Hal ini dapat dihubungkan dengan tempat diman fungsi adat nan ampek itu dilaksanakan, seperti budi, akal, ilmu dan mungkin jo patut. Misalnya nak babudi kamusajik, nak baraka kabalai, nak ba ilmu kagalanggang, nak tau mungkin jo patuik ka tapian dan tata ruang ini biasanya satu sama lain berdampingan, seperti berdampingan balai dengan mesjid, dan berdampingan galanggang dengan tapian. Tapian adalah sebutan tempat anak anak muda seperti pasar, keramaian, pemandian dan lain sebagainya.
            Setipa sukupun mempunyai pemetaan terhadap fungsi teritorial adatnya, anatara lain setiap suku mempunyai rumah gadang, tempat penghulunya. Dan juga mempunyai rumah gadang un tuk kebesaran “manti’ adatnya, juga mempunyai surau untuk ‘tuangku” dan mempunyai rumah gadang untuk dubalangnya sehingga rumah gadangpun bentuknya berbeda untuk setiap kebesaran penghulunya, misalnya rumah gadang si majo kayo untuk penghulu, rumah gadang tain g panjang untuk manti dan rumah gadang rajo babandiang untuk mualimnya, dan rumah gadang serambi untuk dubalangnya.
            Balai adat adalah suatu tempat atau tata ruang yang khusus untuk musyawarah penghulu sesuai tingkat kebesaran menurut sistim yang dianutnya. Biasanya balai adat itu memiliki nama kusus sesuai dengan fungsi atau kedudukan fungsi territorial jorong di nagari itu. Misalnya suartu nagari tarantang lubuak limpato. Balai tarantang disebut balai mamtuih, artinya disanalah segala musyawarah tentang adapt yang diberlakukan mengenai sako jo pusako diputuihkan dalam nagari tarantang lubuak limpato, dan lokasi balai adapt ini selalu berada dalam ulayat ninik mamak yang pangkatnya dalam adapt tertinggi, atau misalnya dalam suatu nagari disebut ‘pasak kunci” sementara dilubuak limpato, misalnya balai adapt tempat mempertimbangkan atau dalam bahasa minangkabau asli disebut ‘mengati” maka balai adat dilubuak limpato disebuit dengan “balai katian”.

FUNGSI PENGHULU, MANTI, MUALIM DAN DUBALANG


            Minangkabau ada falsafah yang mengatakan: “penghulu nan babudi, manti nan baraka, malim nan tau dan dubalang mungkin jo patuik”. Hal ini dapat kita gali, kalau misalnya ada dua orang yang saling mengadu kepada penghulu tentang pertengkaran yang terjadi, maka penghulu mengatakan, ‘cari sajolah nan elok”, dan kemudian penghulu menjelaskan bahwa nan elok itu adalah “lamak dek awak dan katuju dek urang”, dalam bahasa Indonesianya adalah dicari penyelesaian yang satu sama lain tidak merugikan. Sebaliknya kalau kedua orang yang berbeda pendapat itu mengdukan masalahnya kepada manti, maka manti melakukan sudi siasat tentang permasalahan nya kemudian baru dicari solusinya. Kalau kedua orang ini mengadukan nya kepada angku malin, maka angku malin berfatwa dengan hukum serta norma yang berlaku yang disebut “ dallalat” atau dalil ukurannya adalah ini salah dan itu benar.
            Tentang fungsi penghulu dalam adagium adapt dikatakan “ mamancuang indak putuih, mamakan indak abih, usak tak tasengseng, dalam tak taajuak” artinya penghulu tidak boleh menjatuhkan hukum yang menyebabkan keduanya terhukum dan yang lainnya menjadi menang dalam suatu perkara. Barangkali itulah sebabnya pemerintah belanda pada masa penjajahan, ingin menguasai atau meminjam tanah ulayat ninik mamak ( penghulu ) maka jawaban penghulu selalu mengatakan “ambo tanyokan kapado urang cadiak ambo dahulu” akhirnya belanda berkesimpulan penghulu nan babudi adalah lambing kebesarannya saja. Sehingga belanda mengangkat manti sebagai ninik mamak, dan akibatnya yang diterima Belanda adalah konsep “manti nan baraka, malin nan tau dan dubalang nan arif bijak sana” dan akhirnya ini di jadiakan moto tigo tali sapilin, tigo tungku sajarangan.
            Diatas tadi kita singgung sedikit sebagai contoh struktur adat dinagari, kalau kita tanyakan kepada ninik mamak disuatu nagari tentang adapt yang dipakai dalam nagarinya, maka jawabannya spontan bahwa dinagari kami adat lareh nan panjang atau dikatakan adapt dinagari ini adalah adapt lareh nan gadang, ada pula yang mengatakan nagari kami adatnya lareh nan bunta atau bodi caniago, adapula mengatakan adapt dinagari kami adalah “ pisang sikalek hutan pisang timbatu nan bagatah, koto piliangnyo bukan bodi caniago inyo antah, sebab dinagarinyo itu ada basa nan barampek, barajo tigo selo. Adapula jawabannya bahwa adat dinagari kami adalah langgam koto piliang adat bodi caniago. Adapula yang menjawabnya adat nagari kami sudah bercampur satu sama lainnya.
            Lalu bagaimana yang adatnya itu adalah adapt koto piliang atau lareh nan gadang, dalam nagari yang adatnya seperti ini maka pimpinan tertinggi suku disebut dengan ka ampek suku, dibawahnya ada datuk datuk yang disebut tuo kampuang, dan baru penghulu yang dibawahnya adalah panghulu andiko di paruik.
            Kalau nagari itu adanya lareh nan panjang maka pimpinan tertnggi dinagari adalah “ pucuak” dibawahnya ada lantak suku dibawahnya ada penghulu tuo kampuang dan yang terendah ada penghulu andiko.
            Dinagari yang adatnya mamakai bodi caniago (lareh nan bunta) maka pimpinan penghulunya disebut dengan urek tunggang atau urang tuo adat, dibawahnya ada penghulu andiko.
            Dinagari yang dikuasai oleh kerajaan pagaruyuang misalnya didaerah alam surambi sungai pagu, alam sitiung koto basa, alam kinari paruik batu, alam sontang padang nunang, alam tiku pariaman maka dinagari nagari ini pimpinan tertingginya disebut datuk basa nan barampek, rajo tigo selo yaitu meliputi rajo alam, rajo adapt, dan rajo ibadat.
            Nagari yang ada dalam catatan kita terdapat 306 nagari memiliki struktur adapt lareh nan gadang atau yang klasik disebut dengan koto piliang. 96 nagari dengan struktur adapt lareh nan bunta, 20 nagari campuran lareh nan panjang dan lareh nan gadang, 41 nagari dengan sistem kerajaan pagaruyuang dan lebih kurang 50 nagari dengan struktur lareh nan panjang. Nagari nagari itu secara territorial terdiri dari taratak (tempat awal mula mereka membuat kehidupan) lalu mereka susun dusun kemudian mereka cari tempat pusat adapt yang disebut dengan koto, dan meraka cari daerah pakandangan.
            Dari sudut ikatan geneologis maka masyarakatnya disusun atas suku.suku terdiri dari payuang dan payuang terdiri dari paruik dan paruik terdiri dari buah paruik.