Dari pengamatan
langsung pada lokasi lokasi pertumbuhan agama Islam di Minangkabau, selalu
mesjid itu dikitari oleh suatu komplek, dimana disana ada makam ulama yang
terkenal dan makam itu didalam sebuah banguanan, dan ini disebut mereka “gobah”
dan sekitar gobah kita melihat bangunan seperti masjid kecil tidak punya podium
dan mereka menamakan ini surau, disekitar itu juga ada bangunan seperti rumah
biasa dengan tempat duduk melingkar, dan mereka beri nama palanta, lalu
kemudian ditengah tengah bangunan yang tinggi ini terdapat bangunan masjid.
Dari pertanyaan
yang kita ajukan kepada masyarakat sehubungan dengan gobah, surau, palanta, dan
masjid itu, mereka memberikan jawaban: kok mangaji hakikat di gobah, kok
mangaji tharikat (tasauf) di surau, mangaji makfifat dipalanta, dan mangaji
syari’at di musajik.
Sehingga apabila
kita menanyakan tentang maksud dari “adat basandi syarak”, jawabnya adalah
“budi basandi hakekat”, aka basandi tharikat, mungkin jo patuik basandi
makrifat, mungkin jo patuik basandi makrifat, ulemo basandi syari’at.
Tentang syarak
basandi kitabullah, tentunya semua sebutam sebutan tadi seperti hakekat,
tharikat, makrifat dan syari’at terdapat dalam makna dan maksud firman Allah
S.W.T. Didalam Al-quran dan juga diperkuat oleh sunnah Rasulullah S.A.W.
Maka konsekuensi
dari keterpaduan nilai dasar adapt dan nilai dasar Islami inilah yang
menyebabkan setiap “pasukan itu memiliki Penghulu, Manti, Tuanku (Mualim) dan
Dubalang, yang terkait dengan Imam, katik, kadi, dan Bilal. Maka setiap
pasukuan pun memiliki pandam (gobah) dan surau.
Gabungan inilah
yang menyebabkan disebuah nagari itu terdapat sebuah kompleks “pendidikan
Islami yang terdiri dari gobah, surau, palanta dan mesjid”. Hal ini dapat kita
lihat di Canduang, parabek, padang
Jopang, Ampang Gadang dan banyak lagi ditempat lain diMinang kabau ini yang
melahirkan ulama ulama besar yang berskala nasional dan Internasional.
Kalau kita meneliti
munculnya istilah Tuanku dalam suatu pasukuan, dan apabila dikaitkan dengan
pertumbuhan ulama Islam, ternyata ulama yang tumbuh akibat jabatan adapt itulah
yang berakar, hal ini dapat kita lihat misalnya inyiak canduang yang jabatan
adatnya adalah Tuanku Mudo Sikumbang, Inyiak parabek sebagai Tuanku Tuo jambak.
Hal ini beralasan
karena setiap penghulu harus sekurangnya dimiliki seorang Tuanku, dan nama
surau dalam suku itupun disebut sesuai dengan nama tuanku itu. Sebagai contoh
seorang penghulu Datuak sori marajo, manti nyo adalah Datuak majo Lelo dan
dubalangnya adalah lati Sori, dan tuanku adalah Tuanku adalah Tuanku nan Elok,
suraunya punbergelar surau tuanku nan elok.
Bagaiamana pula
kaitan jabatan syarak itu dengan jabatan adapt. Didalam jabatan adat dalam
sebuah suku yaitu penghulu, manti, mualim dan dubalang. Maka penghulu itu
adalah imam dan manti itu adalah katik, sementara mualim itu adalah tuanku
kadi, sementara dubalang itu adalah bilal.
Begitu juga dalam
jabatan adat disuatu nagari, misalnya dalam suatu nagari yang sistim adatnya adalah
lareh nan gadang atau yang biasanya disebut dengan adapt koto Piliang. Dimana
struktur penghulunya terdiri dari kaampek suku, tuo kampuang dan Andiko.
Yang disebut dengan
kaampek suku adalah penghulu yang kebesarannya adat secara sako, mempunyai
tuanku, Mualim dan dubalang, kemudian juga secara pusako mempunyai ulayat yang
luas atau disebut dalam bahasa Minangkabau “baharato tagak”, katakanlah
sebutannya seperti kaampek suku chaniago, kaampek suku pitopang (sebagaimana
kita sebutkan dalam urutan suku terdahulu). Masing masing kaampek suku dalam
suatu nagari kaampek suku sembilan jabatannya adalah pasak kunci, kaampek suku
caniago, kaampek suku pitopang (sebagaimana kita sebutkan dalam urutan suku
terdahulu). Masing masing kaampek suku dalam suatu nagari memiliki jabatan yang
berbeda beda, misalnya dalam suatu nagari kaampek suku sambilan jabatannya
adalah pasak kunci, kaampek suku pitopang adalah pasak kungkuang , kaampek suku
caniago adalah peti bunian, kaampek suku melayu adalah pasak jalujua.
Fungsi fungsi adat
tersebut menentukan dalam musyawarah adat, seperti pasak kunci adalah memimpin
rapat, peti bunian menyimpan keputusan rapat, pasak kungkuang adalah untuak
menjaga aturan adapt yang disebut dengan adat nan teradat. Pasak jalujua adalah
untuk menjelaskan setiap hasil musyawarah kepada anak kemanakan.
Biasanya Nalai Adat
itu terdapat dalam ulayat dari pasak kunci itu dalam nagari yang sistim adatnya koto
piliang (lareh nan gadang), tentu berbeda pula pada lareh nan panjang, lareh
nan bunta dan pisang sikalek kalek hutan, pisang timbatu nan bagatah, koto
piliang inyo antah, bodi caniago inyo bukan.
Jabatan adat pasak
kunci dalam adapt maka di mesjid Nagari dia menjadi Imam mesjid, peti bunian
Adat maka di mesjid berfungsi sebagai katik, pasak kungkuang adapt maka di
mesjid menjadi ahli syari’at, sementara pasak jalujua dalam adapt maka fungsi
dalam mesjis nagari adalah Bilal Nagari.
Dengan demikian
kalau jabatannya dibalai adat pasak kunci, maka di mesjid dia berfungsi sebagai
imam, kalau jabatan adatnya dibalai peti bunian maka di mesjid jabatannya
adalah katik, pasak kungkuang dibalai maka di mesjid jabatannya Bilal.
Sekaligus dengan demikian ada kaitan fungsi adat dan syarak antara balai dan
mesjid. Begitu juga kaum atau suku suku dari jabatan tadi berfungsi dalam
memelihara balai adapt dan mesjid. Itulah sebabnya disebuah nagaritanggung
jawab mesjis itu dalam memelihara dan membangunnya selalu terkait dengan fungsi
adat dan lembaga syarak yang disebut dengan jinih nan ampek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar