Tentang pasukuan di
Minangkabau dikatakan bahwa suku di Minangkabau itu ada empat buah: Koto,
Piliang, Bodi, Caniago. Tetapi dalam kenyataannya, tidaklah saja empat suku itu
yang ditemukan, dari informasi yang diperoleh dari ninik mamak di kanagarian
ternyata suku itu lebih dari empat buah. Katakanlah ada Melayu, Bendang,
kampai, mandailing, ada Koto, piliang, Sipisang, Jambak, Pitopang, dan banyak
lagi suku suku dengan nama yang berbeda.
Di kabupaten Lima
Puluh Kota, atau yang disebut ranah Luak Limo Puluah, suku suku itu berada di
nagari, dan dulunya lebih dari 100 nagari di luak Limo Puluah koto, karena Luak
Limo Puluah itu meliputi wilayah wilayah yang sekarangdisebut Kabupaten Lima
Puluah Kota, kabupaten kampar, kabupaten Rokan Hulu, kabupaten Pelalawan, atau
yang dahulunya menghuni hulu dan aliran sungai Sinamar, sungai Kampar, sungai
Siak, dan sungai Rokan.
Maka, suku suku
dalam wilayah ini terbagi atas empat (4) kelompok suku yaitu:
1. Kelompok
suku pitopang yang meliputi kampong kampong:
Pitopang, Jambak, Salo kutianyie, Bulu kasok dan banuhampu.
2. Kelompok
suku Melayu, yang terdiri dari: kampuang Melayu, Kampuang Bendang, Kampuang
kampai, kampuang mandailiang, Kampuang Panai/Domo
3. Kelompok
suku sembilan (Koto Piliang) yang meliputi kampuang-kampuang: Koto piliang,
Tanjuang, payo bada, Sikumbang, picancang, Simabua, sipisang dan Guci.
4. Kelompok
suku Bodi caniagomeliputi kampong kampuang Bodi Caniago, Sumagek-Supanjang,
Singkuang-Mandaliko dan balai mansiang.
Setiap
nagari selalu adasistim Kaampek Suku, artinya setiap nagari harus ada empat
suku yang mewakili kelompok tadi, dan penghulu yang tertua dari kampung dalam
suku itu biasanya sudah menjadi kaampek sukunya.
Dalam
setiap nagari penghulu ampek suku itu masing masing mempunyai jabatan adatnya,
antara lain disebut sebagai pasak kunci,
Pasak jalujua, pasak kungkuang dan peti bunian.
Penamaan
suku suku ini sudah dibawa sejak mereka berdatangan pertama kali, apakah
kedatangan 2000 tahun SM, ataupun kedatangan setelah kelahiran nabi Isa
sendiri. Dan sumber kedatangan asala muasal nenek moyang bangsa Indonesia
lainnya pun berasal dari daratan Asia,
termasuk dari tanah Basa yang diceritakan dalam tambo tambo tiada lain adalah
dari anak benua India seperti dari lembah Hindustan, Malabar dari Madras dari
rumpun etnis yang memiliki tulisan Palawa, bahasa Tamildan etnis Dravidian yang
berbahasa Sangskrit. Banyak bukti kesamaan bahasa dan intonasinya dengan bahasa
Burma misalnya seperti ungkapan “durian
di takuak rajo”, mirip dengan ungkapan “duren
patakai raya” yang artinya adalah dataran tinggi.
Oleh
karenanya banyak nama nama nagari yang sebetulnya mempunyai akar linguistic
dari rumpun bahasa bahasa daratan Asia, seperti Burma dan Funan atau Vietnam,
contohnya Nagari yang berasal dari kata kata “TA” yang artinya adalah besar, seperti Ta-ku (kus) artinya batu
besar, Taram (air besar), Talang (Bandar besar), Ta-eh (kayu besar), demikian
juga dengan istilah “sia-lang” yang artinya adalah batas (bahasa Tamil), hal
ini sebagaimana temuan kita (Alis Marajo: Monografi nagari), boleh dikatakan
setiap nagari nagari di Kabupaten Limapuluh Kota mempunyai Sialang.
Dengan
demikian jelaslah bahasa Minangkabau itu campuran bahasa Melayu dengan bahasa
Tamil, Dravidian dan bahasa “WU” turunan Tibet. Tentu dengan demikian kita
perlu hati hati terhadapa analisa terjemahan dari setiap orang untuk
kepentingan yangt berbeda beda , atau maksud maksud tertentu untuk suati proses
improvisasi norma agama, sebab memang agama agama yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau ini dulunya antaralain adalah Majusi, Hindu, Budha hidayana dana
Budha Mahayana, Islam Syi”ah, Islah Wahabi dan Islam Moderat.
Istilah
lain yang pengertinya berbeda dengan konotasi bahasa Indonesia klasik banyak
dijumpai, misalnya San-di (Tamil) adalah hubungan suatu hal dengan hal lainnya
Prof. husain Naenar ahli bahasa Tamil dan Prof. khaidri anwar (alm), jadi
kisaknya kalaimat (adapt sandi basandi) terjemahannya adalah bagaimana hubungan
norma yang satu dengan norma yang lainnya.
Adat
menurut bapak Rasyid manggis dalam bukunya mengatakan berasal dari A dan Dato
artinya sesuatu yang tidak bersifat kebendaan, akan tetapi secara empiric
mengamati dialog adat yang dilakukan oleh para ninik mamak dalam acara ritus
adat sebagai berikut: “adat nan ampek
pakaro, nan partamo adalah baso jo basi, nan kaduo adalah sambah manyambah nan
katigo adalah siriah jo pinang dan kaampek adalah alue jo patuik”
Baso jo basi adalah menjalin hubungan psikologis dengan setiap
orang, sehingga hubungan kontak psikologis dapat terus dilakukan dengan setiap
orang.
“Sambah
manyambah” artinya bagaimana selalu bersikap menghormati pikiran orang lain
walaupun sebenarnya pikiran otang lain itu mungkin saja berbeda dengan pikiran
kita, namun hubungan perasaan anatara kita dengan orang lain tidak rusak atau
mengfalami keadaan yang kuarang harmonis, selanjutnya siriah jo pinang,
merupakan wujud dari tata cara penyampaian siatu maksud tidak secata gambling
dan ini adalah identitas budaya yang membedakan orang Minang kabau dengan ora
ng lain, yang keempat adalah, alua jo patuih artinya hubungan ini dilakukan
secra proprsional, artinya sesuai dengan konteksnya kita berkomunikasi dengan
orang lain. Sehingga kesimpulannya adalah bahwa “Adat” itu adalah bagaimana
menjalin komunikasiu rasional dan efektif dengan orang lain, atau selalu
menjaga keseimbangan pikiran dan perasaan.
Dengan
demikian semakin terasa perlunya “Adat” itu sebagai alat untuk proses
sosialisasi diri bagi seorang yang memahami adapt Minangkabau . Sekaligus pula
dapat kita pahami adagium adat yang mengataka “ beradat sepanjang jalan,
bacupak sepanjang batuang” Dapat diartikan bahea menjalin komunikasi dengan
orang lain perlu dibuat jembatan hati.
Bahagian
lain dapat kita pahami adagium adat yang berbunyi “adat dipakai baru, kain
dipakai usang” artinya apabila hubungan dengan orang lain kita lakukan maka
suasana pergaulan akan harmonis dan modern, jadi adapt bukanlah suatu tradisi,
akan tetapi merupakan identitas budaya yang menjadi cirri dalam pergaulan
sehari hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar