Kalimat ini sudah
sangat tua, banyak yang mengartikan bahwa hubungan tradisi ke Minangkabau itu
satu sama lain saling mendasari, mungkin ini adalah pemahaman verbalisme dari
kita yang mendengar istilah ini. Akan tetapi manakala kita tanyakan kepada
Ninik mamak di Minangkabau yang berada di Nagari, maka akan dijawabnya berbeda
dengan pengertian kita.
Ninik mamak itu
menjelaskan, dengan permisalan, dengan menyebutkan hubungan suatu ninik mamak
antara dua nagari, misalnya nagari nagari dikecamatan Situjuah Limo Nagari:
“Sako di Banda dalam, Pusako di Situjuah gadang, Puncak Bulek di Banda Dalam,
Peti Bunian di Situjuah gadang, artinya mengenaigelar sako adat yang tertinggi
di kelarasan itu ada dibanda dalam, akan tetapi mengenai harta (hutan, tanah,
sawah dan sebagainya), maka kedua nagari itu selalu berhubungan.
Demikian juga
misalnya urutan suku dalam suatu kelompok tidak boleh salah dalam
penyebutannya: misalnya Koto jo Piliang, Tanjuang jo Payobada, Simabua jo
Sipisang, Sikumbang jo Picancang, Bodi jo caniago, Jambak jo Pitopang, salo jo
kutianyie dan banyak lagi yang lain: kedua pasang suku ada yang kebesarannya
adalah gelar sako, ada yang kebesarannya adatnya adalah harta atau yang disebutnya
sebagai “pusako”. Oleh karena arti “sandi” disini adalah hubungan yang bersifat
menetap sehingga terlihat sekali bagaimana bervariasinya nagari nagari itu
dalam fungsi adatnya, tidak ada suatu nagari yang lebih tinggi statusnya
daripada nagari lain, begitu juga suatu gelar sako “datuk”, juga tidak ada
datuk di suatu nagari lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan datuk di
nagari lain. Artinya yang selama ini kaum intelektual mengatakan “sandi itu
sama dengan sendi”, ternyata bagi kaum “penghulu di Minangkabau” Sandi itu
tidak sama dengan Sendi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar