Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Kamis, 25 Oktober 2012



SEJARAH ALEK BAKAJANG DI NAGARI GUNUNG MALINTANG

Oleh
Ali Hasan, S.Sos

Menurut bahasa melayu kuno kajang berarti perahu/sampan atau kajang juga berarti “memperbaharui” maka bakajang berarti  jalang manjalang untuk silahturahmi yang dilaksanakan setelah hari idul fitri dengan tujuan meningkatkan silahturahmi diantara anak kemenakan 4 suku yang dilaksanakan melalui acara alek bakajang di Sungai Batang Mahat.

 Plaksanaan acara “alek bakajang” yang dilaksanakan sampai sekarang,  merupakan warisan nenek moyang orang Gunuang Malintang,  diawal pertama kali memasuki daerah ini dengan cara “Dulu kala” menjalang, menjanguak dengan sarana sampan kajang (perahu yang dihiasi) dari Istano Dt Bandaro, Istano Dt sati, Istano Dt Panduko Rajo, Istano Dt Gindo Simarajo dan Istano Alim Ulama jo Pemerintah Nagari  (dari jorong yang satu ke jorong yang lain melalui sungai Batang Mahat dan menbawa satu carano dan lengkap dengan isinya dimasa itu, karena dulu belum adanya jalan raya seperti sekarang ini dan sebagian besar wilayah ini baru hutan rimba.

 Batang Mahat merupakan sebuah sungai yang sangat besar mamfaatnya bagi masyarakat mulai dari Nagari Mahat sampai kedaeraah Kampar , salah satu daerah yang dilaluinya adalah Nagari Gunung Malintang yang dimamfaatkan untuk bakajang karena pada zaman dahulu belum ada jalan raya sebagai penghubung satu daerah dengan daerah lain. Maka Sungai Batang Mahat inilah sebagai sarana untuk mempersatukan suatu suku, satu golongan, satu kemenakan dengan kemenakan lainnya sebagai mana yang telah diwarisi oleh anak nagari Gunung malintang sampai saat ini dengan nama “Alek Bakajang yang dimulai pada hari ke 4 (empat) di bulan Syawal (hari raya ke 4) selama 5 (lima ) hari secara berturut turut yang dilaksanakan  pada 

1.       Istanao Dt Bandaro di Jorong Koto Lamo
2.       Istano Dt Sati di Jorong Batu Balah
3.       Istano Dt Paduko Rajo di Jorong Baliak Bukik/Jorong Boncah Lumpur
4.       Istano Dt Gindo Simarajo di Jorong Kto Mesjid
5.       Istano Pemerintahan Nagari, alim ulama dan Pemuda di Jorong  Baliak Bukik/Jorong Boncah Lumpur.
Sedangkan maksud diadakannya alek bakajang yaitu meningkatkan silahturahmi antara anak nagari, ninik mamak, alim ulama dan Pemerintah, dengan tujuan mempererat persatuan, melestarikan adat budaya nagari, membangkitkan kreatifitas pemuda nagari, dan sarana menyampaikan informasi adat istiadat, agama, peraturan nagari dan informasi pemerintah serta menambah pendapatan masyarakat.

Peserta dan pelaku alek bakajang adalah pemuda, ninik mamak, alim ulama,Pemerintahan Nagari,Tokoh masyarakat,PKK dan Bundo kanduang, perantau dan donatur serta masyarakat Nagari Gunung Malintang. Awal mulanya pelaksanakan  bakajang, dimulai dari kedatangan Dt Bandaro, Dt Sati, Dt Paduko Rajo dan Dt Gindo Simarajo, dengan sejarah kedatangan sebagai berikut : 

 I.                    KEDATANGAN DT BANDARO

Datang nyo Dt Bandaro ke Nagari Gunung Malintang yang bermula berasal  dari Muaro Takus, sekarang dalam daerah Kabupaten Kampar Provinsi Riau dengan melalui/mendaki bukit batu Lampasan terus melalui bukit Takuak melewati bukit Godang, terus ke Batu Jonjang menuruni Lubuak Buntong, mendaki ka pa ontian Sompuik, menuruni batu Baiduang terus ka Surau Godang, kemudian terus berjalan melalui Sungai Lowan, sesampai disana rombongan DT Bandaro bermalam dan menetap, maka didirikanlah sebuah Koto pada masa itu dengan nama  Koto Muaro Lowan.
Musim berjalan tahun berganti, berkembang jua anak kemenakan Dt Bandaro, kemudian ingin mencari daerah baru untuk ditempati, maka berbagilah rombongan tadi menjadi 2 bagian, pertama pergi menelusuri kehilir Batang Maek sampailah di Nagari Pangkalan, sekarang dibawah kepemimpinan Dt Majo serta berkembang biak dan membentuk sebuah nagari.
Rombongan ke dua  berjalan menelusuri Sungai Batang mahat dibawah kepemimpinan Dt Bandaro, maka dibuatlah sebuah perahu yang diberi nama dimasa itu dengan sebutan Perahu Kajang, dengan menaiki Kajang maka terus di daki Sungai Batang Mahat tersebut hingga akhirnya rombongan Dt Bandaro tadi bermalam serta membuat sebuah pemukiman yang disebut dengan Koto Lamo.
Setelah menetap beberapa lama disana, maka tatkala ada keperluan di Sungai Batang mahat, maka tampaklah oleh seorang rombongan Dt Bandaro tadi kayu penarahan hanyut serta asap api yang membubung ke atas di daerah Mudiak, maka timbullah perasaan didalam hatibahwa mungkin ada orang lain yang menetap di mudiak kita ini. Untuk memastikan bahwa ada orang dimudiak, maka rombongan tadi melanjutkan kembali menelurusuri aliran Sungai Batang Maek. Tatkala setibanya di sebuah anak sungai, kiranya ada orang di mudiak tadi adalah rombongan Datuak Sati yang datang dari daerah Maek, maka diberilah nama tempat bertemu kedua rombongan tadi (Rombongan Dt Bandaro dengan Dt Sati) dengan Nama  Sungai Sonsongan silsilah nama DT BENDERA karena rombongan i ni selalu membawa bendera/menara, tetapi karena perubahan kata serta zaman, agar enak didengar maka nama DT BENDERA tadi dirobah pengucapannya menjadi Dt Bandaro sekarang.

II.                  KEDATANGAN DT SATI.

Dt Sati sekarang ini yang mendiami Gunung Malintang, mulanya berasal dari Nagari Mahat yang mana Dt Sati ini 3 orang bersaudara, stu bernama Dt Sati< kedua Dt Gompo, dan yang ketiga bernama  Sutan Parimpunan. Pada masa dahulu datalah tamu tak diundang berkunjung kerumah Dt . disangka orang baik baik kiranya orang yang ingin merampok, karena ingin menyelamatkan harta berharganya , maka mereka lari berpencar, yang satu lari ke Sopan Tana, yang satu lagi lari ke Lubuak Awuang, dan yang satu lagi menyelamatkan diri dengan mengaliri Sungai Batang Mahat.
Yang lari menyelamatkan diri dengan mengaliri sungai batang nahat inilah yang bergelar Dt Sati, konon kabarnya Dt Sati tadi lari dengan membawa emas dan perak yang dimasukan kedalam bambu yang dipotong kemudian ditutup ujung pangkalnya yang diberi nama dengan sebutan  “PIYAN” , tatkala terus mengaliri Sungai Batang Mahat tadi sampailah disebuah tempat yang bernama Ayieh Luluih dan terus lari menyelamatkan Piyanto, terbukalah sumbatnya maka dilihatlah isi dari piyan tadi ternyata emas yang ada didalam piyan lah lenyap, la hilang, la luluih masuk ke sungai Batang Mahat.
Kemudian rombongan Dt Sati tadi terus berjalan dan mengaliri sungai batang mahat, tibalah disuatu tempat dan menetap, diberilah nama tempat tersebut dengan nama KOTO PATAMUAN (pertemuan sungai batang mahat dengan sungai batang nenan).

Lama kelamaan anak kemanakan Dt Sati berkembang, maka dicarilah daerah baru dengan berjalan mengaliri sungai batang mahat, dan terlihat sebuah ngalau yang indah serta bermalam di sana, maka ngalau tersebut diberi nama Batu Kajang karena menyerupai sebuah Kajang/perahu.

III.                DT PADUKO RAJO

Kedatangan Dt Paduko Rajo ke Gunung Malintang bermula dari Rao Pasaman yang melanjutkan perjalanannya ke daerah Mungka dan berkembang pula di daerah ini dan terus berjalan menelusuri  Bukit barisan (Bukit Gadih) dan terus berjalan maka sampailah di daerah yang dinamai Pisang Karok dan terus mencari daerah baru untuk dijadikan pemukiman, maka terlihatlah dibawahnya tanah yang bagus untuk dijadikan perkampungan maka diberilah nama dengan KOTO BALIK BUKIT (karena letaknya persis dibawah dan dibaliak sebuah bukit).

IV.                DT GINDO SIMARAJO

Kedatangan Dt Gindo Simarajo “ Datuak ini berasal dari daerah jambi melalui sungai batang hari dan terus memasuki batang kampar dan terus menelusuri  sungai batang mahat, sampailah mereka di daerah ini yaitu di Jorong Koto Mesjid. Sesampainya dijorong koto mesjid, rombongan Dt ini permisi masuk dan mendiami daerah ini. Dan beranglah Dt Paduko rajo ke rombongan Dt Gindo Simarajo tadi dan dirusak lah kajang (sampan) dari Dt Gindo Simarajo dan kemudian diadakan penyelesaiannya.
Maka Dt Paduko rajo dikenakan sangsi atau hutang oleh Dt Gindo Simarajo “ hutang di bayie, salah ba timbang”. Lama kelamaan rombongan Dt Gindo Simarajo tadi dijadikan dunsanak oleh Dt Paduko Rajo.
Itulah riwayat mengenai kedatangan  awal Datuak nan Ampek di tanah Nagari Gunung Malintang.



A DAMHOERI : PENULIS NASIONAL DARI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
Oleh
Ali Hasan, S.Sos

Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki banyak putra daerah yang berhasil dalam berbagai bidang dan menorehkan berbagai penghargaan yang mengharumkan nama daerah. Dalam bidang sastra misalnya, seorang putra Nagari Batu Payuang telah melahirkan 124 buku dan 22 buku yang belum diterbitkan hingga ajalnya. Beliau adalah Ahmad Damhoeri, atau yang dikenal dengan nama A Dam, Bung Adam, pak Adam, atau A. Damhoeri Pengarang. Penulis kelahiran 31 Agustus 1915 ini merintis kariernya dari sekolah dasar. Damhoeri muda menyadari bahwa menulis bukanlah keturunan, namun buah dari kerja keras. Novel pertamanya, Mencari Jodoh, yang diterbitkan pada tahun 1935 oleh Balai Pustaka menuai sukses dan dicetak ulang beberapa kali. Kesuksesan di umur 20 tahun inilah yang terus merangsang Damhoeri untuk terus berkarya. Tidak hanya menulis novel, Damhoeri juga menulis berbagai cerita pendek, cerita anak, sajak, essai, buku ajar sekolah, serta Teka-Teki Silang (TTS) saat mengasuh rubrik Kesastraan di Majalah “Panji Pustaka”.
Damhoeri termasuk salah seorang pengarang tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Pada zaman penjajahan Belanda, Damhoeri menggunakan nama samaran Aria Diningrat. Di zaman kependudukan Jepang, Damhoeri menetap di tanah kelahirannya. Perlakuan semena-mena penjajah kepada masyarat jajahan membuat tumpul inspirasi menulis Damhoeri, namun sekali-kali tulisannya masih muncul di Harian Sumatera Shibun Medan dan Harian Padang Nippon. Damhoeri juga turut bergerilya selama perang Kemerdekaan dan masa Agresi Belanda kedua di Payakumbuh Selatan. Awalnya beliau aktif dalam Barisan Penerangan Mobil Kewedangan Militer Payakumbuh Selatan, kemudian menjadi staf Wedana Militer Makinuddin HS. Pengalaman bergerilya tersebut direfleksikan Damhoeri dalam novel “Dari Gunung ke Gunung” yang diterbitkan oleh Penerbit Saiful Medan pada tahun 1950.

PENDIDIKAN DAMHOERI
Damhoeri mengawali pendidikannya di Sekolah Gobernemen Kelas Dua di Bangkinang. Pada saat itu, sekolah Gobernemen terkenal dengan nama Jongen Vervoischoll. Lama pendidikan di sekolah ini adalah dua tahun dan merupakan sekolah lanjutan dari Sekolah Rakyat (SR) yang lamanya tiga tahun. Setelah tamat dari sekolah Gobernemen pada tahun 1928, Damhoeri melanjutkan pendidikannya di Sekolah Normal yang berada di Padang Panjang. Damhoeri menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1943 dan memperoleh ijazah. Sekolah Normal menjadi akhir dari pendidikan formal Damhoeri, karena selanjutnya Damhoeri belajar berbagai bidang secara otodidak. Ijazah dari Sekolah Normal menjadi modal Damhoeri untuk berkarir sebagai guru. Tahun 1934, A. Damhoeri pun menjadi seorang guru.
Selain bekerja di bidang pendidikan, Damhoeri juga menggeluti bidang Kebudayaan dan pernah menjabat sebagai Kepala Inspeksi Kebudayaan di Sumatera. Di samping itu, beliau juga aktif di bidang Penerbitan. Damhoeri muda bukan berasal dari keluarga kaya, sehingga beliau bekerja keras untuk menafkahi keluarganya. Kehidupan Damhoeri membaik ketika beberapa karyanya dipesan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sebagai Buku Inpres.
Karir menulis Damhoeri berawal dari Majalah Taman Kanak-Kanak Panji Pustaka pada 27 November 1931. Hingga tahun 1934, Damhoeri membantu majalah tersebut untuk memajukan dunia Kesusastraan. Tahun 1938 hingga 1939, Damhoeri menjabat sebagai Direksi di Majalah Dunia Pengalaman. Sibuk di bidang penerbitan, Damhoeri tetap melanjutkan karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan menjadi guru di Sekolah Desa pada tahun 1934 sampai dengan tahun 1936. Selanjutnya, pada tahun 1938 hingga 1940, Damhoeri menjadi pengajar di Sekolah Gemeente Medan. Kemudian hijrah ke HIS Medest Medan hingga tahun 1942.
Setahun kemudian, Damhoeri pulang ke tanah kelahirannya dan menjadi guru di Sekolah Sambungan Payakumbuh hingga tahun 1946. Karir Damhoeri menanjak dengan dipercayanya beliau menjadi Kepala Sekolah di Sitanang Payakumbuh pada tahun 1947. Sembilan tahun menjadi Kepala Sekolah, tahun 1956 Damhoeri memegang jabatan sebagai Kepala Seksi Kesenian Perwakilan Daerah Kebudayaan Sumatera Tengah di Bukittinggi. Selanjutnya Damhoeri menjadi Kepala Seksi Kesenian Inspeksi Daerah Kebudayaan Sumatera Barat untuk periode 1960-1963.  Jabatan berikutnya yang dipegang oleh Damhoeri adalah Kepala Inspeksi Kebudayaan Daerah I Kota Payakumbuh pada tahun 1964-1971. Damhoeri pun pernah menjadi Ketua Komite Nasional Batu Payung pada 1947 dan menjadi anggota Sidang Pengarang pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Bukittinggi pada tahun 1947.

KEHIDUPAN DAMHOERI
Semasa hidupnya, Damhoeri menikah sebanyak sembilan kali dan memiliki sembilan orang anak. Bakat menulis Damhoeri juga menurun kepada anak-anaknya, diantaranya Nursjirwan Damhoeri. Dari penghasilannya sebagai penulis dan PNS, Damhoeri menafkahi keluarganya dengan memiliki ladang kopi, mendirikan penggilingan padi, serta memiliki toko yang menjual berbagai alat kebutuhan rumah tangga. Damhoeri juga memperbaiki rumahnya hingga layak huni dan membangun ruang kerja untuknya yang juga dilengkapi dengan perpustakaan pribadi. Tak hanya berbuat untuk keluarganya, Damhoeri juga memberikan manfaat bagi lingkungannya dengan membangun unit penerangan listrik yang menggunakan dinamo 3 KW dan digerakkan oleh diesel. Mushalla, jalan, Mesjid, kantor desa, dan masyarakat di sekitarnya ikut menikmati listrik dari unit penerangan yang dibangun Damhoeri.
Damhoeri menghabiskan masa tuanya dengan bermain dengan cucu-cucunya. Damhoeri wafat pada 6 Oktober 2000 dalam usia 85 tahun. Beliau telah meninggalkan kebanggaan bagi keluarganya, orang-orang yang mengenalnya, masyarakat, dan daerah ini. Bupati Alis Marajo dalam sambutannya saat berziarah ke makam Damhoeri pada Peringatan Sumpah Pemuda tahun lalu berharap kaum muda Kabupaten Lima Puluh Kota berani tampil dan mengembangkan bakat menulisnya. “Menulis adalah berkah dan menjadi rahmat bagi sekitar kita”, pungkas Bupati.
Akan ada yang berbeda dalam ziarah Bupati ke makam Damhoeri tahun ini. Dalam rangkaian Peringatan Sumpah Pemuda ke 84 tanggal 28 Oktober nanti, Bupati sekaligus akan menyerahkan lukisan Damhoeri.