Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Jumat, 31 Agustus 2012


POTANG BALIMAU DI KAB LIMA PULUH KOTA
 

Sejarah Potang Balimau di Nagari Pangkalan Kec Pangkalan Koto Baru.

          Pada tahun 431 M,  seorang Budhis Cina yang bernama Fahien mengunjungi Kantoli sebelum pergi ke Nalanda (India Utara)  melalui Selat Malaka, memasuki Muara Sungai “Kanvar” (Kampar) menuju Kantoli. Kantoli adalah suatu daerah yang dilalui oleh garis equator (pada jam 12 Greenwich, tidak ada bayang-bayang), atau garis katulistiwa, yang lebih dikenal dengan “Sakidomura”.

          Sementara pada tahun 608 M, telah terjadi perkembangan agama Islam di Muaro Sabak, yaitu dengan masuk islamnya seorang Maha Raja Loka yang bernama Maharaja Lokitawarman, sehingga perkembangan islam itu berujung pada hulu anak Sungai Kampar Kiri (Batang Subayang) yang sekarang dikenal dengan “Kuntu”. Makanya hubungan daerah Malaysia - Kuntu - Pangkalan Koto Baru dan Maek, inilah yang menyebabkan antara Kuntu dengan Pangkalan - Maek  sagat dekat.

Di tahun 671 M, kejadian yang sama juga dilakukan oleh “Budhist Cina” yang bernama I-Thing , dimana sebelum ke Kantoli juga melewati sebuah pelabuhan yang bernama Pangkalan (sekarang nagari Pangkalan Kecamatan Pangkalan Koto Baru ) sebagai tempat untuk membawa hasil hutan dari pedalaman Sumatera menuju  ke Cina, dengan menelusuri hulu sungai Batang Maek atau anak sungai Kampar.

          Sedangkan, pada saat kunjungan tokoh-tokoh adat Sumbar ke Thailand, Laos, Kamboja tahun 1991, sebagian besar, tempat di daerah Hindia Belanda tersebut di beri nama  nama suku di Minangkabau antara lain Melayu,Bendang, Kampai, Mandahiliang, Panai , Domo, Jambak, Pitopang, Salo. Koto Anyir, Buluh Kasok, Banuhampu, Pauah, Koto Piliang, Tanjung, Payobada, Sipisang, Simabua, Sikumbang, Picancang, Guci/ Dalimo, Bodicaniago, Singkuang, Mandaliko,Sumagek,Supanjang,Balai Mansiang (27 nama-nama suku di Minangkabau).

          Dari tahun 431-671 M, pelabuhan dagang Pangkalan itu dikuasai oleh dua kelompok penguasa antara lain Penguasa air (Badar Pelabuhan) yang dikendalikan oleh Penghulu Suku rumpun Melayu (Dt.Rajo Malayu). Sedangkan penguasa wilayah adalah Penghulu Suku Pitopang (Datuk Basa dan Datuk Sibijayo).
 
          Hubungan dagang antara Pangkalan dengan Malaysia untuk ke Funan (Vietnam) dan Malaysia telah berlangsung sejak lama (semasa Raja Funan Gunawarman). Hal ini terbukti adanya nama daerah yang sama dengan Nagari Pangkalan dengan Pangkalan Dian dekat Naniang Malaysia dengan Datuk Limbagonya bergelar Batin Sibijayo.

          Fakta-fakta hubungan dagang ini, terlihat dari peninggalan benda-benda yang digunakan oleh penduduk di Pangkalan yang diimpor dari Cina, pada zaman Dinasti Tang, Ming dan Dinasti Han (berupa piring besar, dulang perunggu, tombak dan alat penangkap ikan). 

Dari keyakinan agama, sebelum Islam masuk ke Minangkabau, bahwa Sungai Maek/anak Sungai Kampar, adalah tempat mensucikan diri. Sampai sekarang, nilai dan adat Minangkabau yang dilambangkan dengan (budi, akal, ilmu, mungkin patut) konon dikaitkan dengan pemahaman terhadap peristiwa alam (air, api, angin, tanah). Sampai pada struktur pemangku adatnya yang 4 yaitu Penghulu, Manti, dan Mualim, serta Dubalang yang lebih dikenal dengan “Tetraloginya Minangkabau”.

          Secara evolusi, setelah 100 tahun kelahiran Nabi Muhammad. SAW, Islam masuk ke Selat Malaka dan terus masuk ke Muara Sungai Kampar melalui ajaran Islam yang 4, yang dibawa oleh ajaran sahabat yang 4 (Abu Bakar yang berhakikat, Ali yang bertarikat, Umar yang bermakrifat dan Usman yang bersyariat).
 
4 Nilai dasar adat (budi, akal,ilmu dan mungkin serta patut) punya hubungan dengan 4 nilai dasar Islam yang 4 (hakikat, tarikat, makrifat, syariat) yang telah diperkenalkan pada tahun 900-1000 M melahirkan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitaabullah. 

Dalam perkembangannya pada tahun 1660 M, di Ulakan Pariaman mengalami perubahan Adat jo Syarak Sandi basandi. Setelah Perang Padri usai (1837M), maka barulah dikukuhkan sebagai ABS BSK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah). 

          Diperkirakan tahun 1000-1200 M, Sultan Ibrahim bersama Putrinya Lindung Bulan (beragama Islam), yang berlayar dari Maek mengarungi batang Maek bersuku Mandahiliang, membawa ajaran Islam untuk mempertemukan konsep “balimau” suatu upacara untuk mensucikan diri pada awal memasuki bulan Ramadhan sehingga menjadi tradisi bagi masyarakat Pangkalan Kecamatan Pangkalan.

 Sejak saat itu sampai sekarang, makam kedua tokoh tersebut dinamakan “Makam Ustano Rajo“ yang berjarak 1 km dari jembatan tempat prosesi adat potang balimau dilaksanakan.   

Namun demikian, pada lokasi perkuburan Pitopang Dt. Bosa dijumpai batu tapak yang bentuknya sama dengan batu tapak “ Purnawarman “ di Jawa Barat (tahun 300-5000 M) , dan di sebelah Timur, dulunya disebut Koto Tuo Pangkalan.    

Dari literatur sejarah, pertemuan Sultan Ibrahim- Dt. Basa dan Dt.Sibijayo itulah awal kejadian potang balimau. Indikasi lain adalah di lokasi “Potang Balimau” yang masih  disebut masyarakat sebagai “Pasa Usang” dan dijumpai pula Masjid yang banggunannya  menyerupai kebudayaan “Islam budha”

          Pada tahun 1290 M, Raja Singosari “Kartanegara” melakukan ekspedisi Pamalayu. Konon kabarnya “Raja/ Patih Paramesywara”, singgah dahulu di Pangkalan untuk mohon izin kepada Dato Sibijayo (Datuk Sibijayo) sebelum ke “Tumasik” (Singapura sekarang). Hal ini membuktikan bahwa Pangkalan menjadi pelabuhan terbesar di zaman itu untuk kawasan Asia Tenggara.

          Berdasarkan latar belakang sejarah tersebut, tidak dapat diragukan lagi setelah tahun 690 M, aksara kuno Minagkabau telah digunakan untuk perdagangan “gambir” yang dibawa dari Pangkalan ke Funan. Aksara Minangkabau ini tertuang di sebuah batu di daerah sebelah barat laut Pangkalan yang disebut dengan Koto Lamo Kecamatan Kapur IX.
 
          Disisi lain kegiatan Potang Balimau di Kenagarian Pangkalan, berawal dari aktifitas masyarakat Pangkalan yang suka berniaga sampai ke Malaysia, Sambas dan Kalimantan. Sekitar tahun 1800 pulanglah saudagar Pangkalan dari sambas sambil membawa dua buah mimbar masjid.

Dari Sambas mengarungi lautan , kemudian sampai ke Sungai Siak, lalu ke Taratak Buluah, Sungai Kampar dan Batang Maek. Satu buah mimbar itu di serahkan ke kerajaan Siak sebagai hadiah untuk raja Siak dan satu lagi dibawa ke Pangkalan yang sekarang merupakan mimbar Mesjid Raya di Pasar Usang Pangkalan.

          Kedatangan mimbar menjelang memasuki bulan suci ramadhan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Kenagarian Pangkalan, sebab kala itu masyarakat Pangkalan sedang membangun sebuah Mesjid dan sangat menantikan kedatangan mimbar tersebut. Kemudian masyarakat berbondong-bondong untuk  melihat mimbar tersebut.

Sejak saat itu, setiap memasuki bulan suci ramadhan masyarakat Kenagarian Pangkalan membuat sampan hias yang merupakan wujud syukur terhadap kepulangan masyarakat untuk bersilaturrahmi  pulang dari rantau menjelang bulan suci ramadhan sehingga kata mimbar dengan dialek pangkalan menjadi “mimbau”.

            Berdasarkan informasi dan pengamatan serta pengalaman disaat Potang Balimau di Pangkalan Koto Baru, peranan masyarakat sangat besarnya setiap tahunnya, maka sangat layak kegiatan yang dihadiri oleh ± 10.000 orang tersebut,  perlu dijadikan kegiatan kepariwisataan berskala Nasional dan Internasional setiap tahunnya oleh Pemerintah Republik Indonesia.