POTANG BALIMAU DI KAB LIMA PULUH KOTA
Sejarah Potang
Balimau di Nagari Pangkalan Kec Pangkalan Koto Baru.
Pada tahun 431 M, seorang Budhis Cina yang bernama Fahien
mengunjungi Kantoli sebelum pergi ke Nalanda (India Utara) melalui Selat Malaka, memasuki Muara Sungai
“Kanvar” (Kampar) menuju Kantoli. Kantoli adalah suatu daerah yang dilalui oleh
garis equator (pada jam 12 Greenwich, tidak ada bayang-bayang), atau garis
katulistiwa, yang lebih dikenal dengan “Sakidomura”.
Sementara pada tahun 608 M, telah terjadi
perkembangan agama Islam di Muaro Sabak, yaitu dengan masuk
islamnya seorang Maha Raja Loka yang
bernama Maharaja Lokitawarman, sehingga perkembangan islam itu berujung
pada hulu anak Sungai Kampar Kiri (Batang
Subayang) yang sekarang dikenal dengan “Kuntu”. Makanya hubungan daerah
Malaysia - Kuntu - Pangkalan Koto Baru dan Maek, inilah yang menyebabkan antara
Kuntu dengan Pangkalan - Maek sagat
dekat.
Di tahun 671 M, kejadian yang sama juga dilakukan oleh
“Budhist Cina” yang bernama I-Thing , dimana sebelum ke Kantoli
juga melewati sebuah pelabuhan yang bernama Pangkalan (sekarang nagari
Pangkalan Kecamatan Pangkalan Koto Baru ) sebagai tempat untuk membawa hasil
hutan dari pedalaman Sumatera menuju ke
Cina, dengan menelusuri hulu sungai Batang Maek atau anak sungai Kampar.
Sedangkan, pada saat kunjungan
tokoh-tokoh adat Sumbar ke Thailand, Laos, Kamboja tahun 1991, sebagian besar, tempat
di daerah Hindia Belanda tersebut di beri nama
nama suku di Minangkabau antara lain Melayu,Bendang, Kampai,
Mandahiliang, Panai , Domo, Jambak, Pitopang, Salo. Koto Anyir, Buluh Kasok,
Banuhampu, Pauah, Koto Piliang, Tanjung, Payobada, Sipisang, Simabua,
Sikumbang, Picancang, Guci/ Dalimo, Bodicaniago, Singkuang, Mandaliko,Sumagek,Supanjang,Balai
Mansiang (27 nama-nama suku di Minangkabau).
Dari tahun 431-671 M, pelabuhan dagang
Pangkalan itu dikuasai oleh dua kelompok penguasa antara lain Penguasa air (Badar
Pelabuhan) yang dikendalikan oleh Penghulu Suku rumpun Melayu (Dt.Rajo
Malayu). Sedangkan penguasa wilayah adalah Penghulu Suku Pitopang (Datuk
Basa dan Datuk Sibijayo).
Hubungan dagang antara Pangkalan
dengan Malaysia untuk ke Funan (Vietnam) dan Malaysia telah
berlangsung sejak lama (semasa Raja Funan Gunawarman). Hal
ini terbukti adanya nama daerah yang sama dengan Nagari Pangkalan dengan Pangkalan Dian dekat Naniang Malaysia
dengan Datuk Limbagonya bergelar Batin Sibijayo.
Fakta-fakta hubungan dagang ini, terlihat
dari peninggalan benda-benda yang digunakan oleh penduduk di Pangkalan yang
diimpor dari Cina, pada zaman Dinasti Tang, Ming dan Dinasti Han (berupa piring
besar, dulang perunggu, tombak dan alat penangkap ikan).
Dari keyakinan agama, sebelum Islam masuk ke Minangkabau,
bahwa Sungai Maek/anak Sungai Kampar, adalah tempat mensucikan diri. Sampai
sekarang, nilai dan adat Minangkabau yang dilambangkan dengan (budi,
akal, ilmu, mungkin patut) konon dikaitkan dengan pemahaman terhadap
peristiwa alam (air, api, angin, tanah). Sampai pada struktur pemangku adatnya
yang 4 yaitu Penghulu, Manti, dan Mualim, serta Dubalang yang lebih dikenal
dengan “Tetraloginya Minangkabau”.
Secara evolusi, setelah 100 tahun
kelahiran Nabi Muhammad. SAW, Islam masuk ke Selat Malaka dan terus masuk ke
Muara Sungai Kampar melalui ajaran Islam yang 4, yang dibawa oleh ajaran
sahabat yang 4 (Abu Bakar yang berhakikat, Ali yang bertarikat, Umar yang bermakrifat
dan Usman yang bersyariat).
4 Nilai dasar adat (budi, akal,ilmu dan mungkin serta
patut) punya hubungan dengan 4 nilai dasar Islam yang 4 (hakikat, tarikat, makrifat,
syariat) yang telah diperkenalkan pada tahun 900-1000 M melahirkan
konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitaabullah.
Dalam perkembangannya pada tahun 1660 M, di Ulakan
Pariaman mengalami perubahan Adat jo
Syarak Sandi basandi. Setelah Perang Padri usai (1837M), maka barulah
dikukuhkan sebagai ABS BSK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah).
Diperkirakan tahun 1000-1200 M, Sultan
Ibrahim bersama Putrinya Lindung Bulan (beragama Islam), yang
berlayar dari Maek mengarungi batang Maek bersuku Mandahiliang, membawa ajaran
Islam untuk mempertemukan konsep “balimau” suatu upacara untuk
mensucikan diri pada awal memasuki bulan Ramadhan sehingga menjadi tradisi bagi
masyarakat Pangkalan Kecamatan Pangkalan.
Sejak saat itu
sampai sekarang, makam kedua tokoh tersebut dinamakan “Makam Ustano Rajo“ yang
berjarak 1 km dari jembatan tempat prosesi adat potang balimau dilaksanakan.
Namun demikian, pada lokasi perkuburan Pitopang Dt. Bosa
dijumpai batu tapak yang bentuknya sama dengan batu tapak “ Purnawarman “ di Jawa
Barat (tahun 300-5000 M) , dan di sebelah Timur, dulunya disebut Koto Tuo
Pangkalan.
Dari literatur sejarah, pertemuan Sultan Ibrahim- Dt. Basa
dan Dt.Sibijayo
itulah awal kejadian potang balimau. Indikasi lain adalah di lokasi “Potang
Balimau” yang masih disebut masyarakat
sebagai “Pasa Usang” dan dijumpai pula Masjid yang banggunannya menyerupai kebudayaan “Islam budha”
Pada tahun 1290 M, Raja
Singosari “Kartanegara” melakukan ekspedisi Pamalayu. Konon kabarnya “Raja/
Patih Paramesywara”, singgah dahulu di Pangkalan untuk mohon izin
kepada Dato Sibijayo (Datuk Sibijayo) sebelum ke “Tumasik” (Singapura
sekarang). Hal ini membuktikan bahwa Pangkalan menjadi pelabuhan terbesar di
zaman itu untuk kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan latar belakang sejarah
tersebut, tidak dapat diragukan lagi setelah tahun 690 M, aksara kuno
Minagkabau telah digunakan untuk perdagangan “gambir” yang dibawa dari
Pangkalan ke Funan. Aksara Minangkabau ini tertuang di sebuah batu di daerah
sebelah barat laut Pangkalan yang disebut dengan Koto Lamo Kecamatan Kapur IX.
Disisi lain kegiatan Potang Balimau di
Kenagarian Pangkalan, berawal dari aktifitas masyarakat Pangkalan yang suka
berniaga sampai ke Malaysia, Sambas dan Kalimantan. Sekitar tahun 1800 pulanglah
saudagar Pangkalan dari sambas sambil membawa dua buah mimbar masjid.
Dari Sambas mengarungi lautan , kemudian sampai ke Sungai
Siak, lalu ke Taratak Buluah, Sungai Kampar dan Batang Maek. Satu buah mimbar
itu di serahkan ke kerajaan Siak sebagai hadiah untuk raja Siak dan satu lagi
dibawa ke Pangkalan yang sekarang merupakan mimbar Mesjid Raya di Pasar Usang
Pangkalan.
Kedatangan mimbar menjelang memasuki
bulan suci ramadhan disambut dengan suka cita oleh masyarakat Kenagarian
Pangkalan, sebab kala itu masyarakat Pangkalan sedang membangun sebuah Mesjid
dan sangat menantikan kedatangan mimbar tersebut. Kemudian masyarakat
berbondong-bondong untuk melihat mimbar
tersebut.
Sejak saat itu, setiap memasuki bulan suci ramadhan
masyarakat Kenagarian Pangkalan membuat sampan hias yang merupakan wujud syukur
terhadap kepulangan masyarakat untuk bersilaturrahmi pulang dari rantau menjelang bulan suci
ramadhan sehingga kata mimbar dengan dialek pangkalan menjadi “mimbau”.