Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Sabtu, 24 Desember 2011

PEWARISAN SAKO DAN PUSAKO


            Sako adalah gelar ninik mamak, misalnya Dt. Sori marajo, atau penghulu “pewarisannya adalah turun temurun, artinya dari mamak kepada “kemenakan”, kemenakan disini bisa bersifat langsung atau juga bersifat tak langsung, misalnya kakak laki-laki dari si Datuak tadi maka sebutannya juga kemenakan.
            Urutan turun temurun yang akan mewarisi sako Datuak, pertama bertali darah, kalu sudah tidak ada lagi yang bertali darah, maka urutan kedua pewarisnya adalah batali adat, kalau tidak ada pula yang bertali adapt, maka jatuhnya kepada batali budi, tetapi kalau tidak ada lagi batali budi, maka jatuhnya kepada kelompok yang batali ameh jo perak.
            Sebutan sakonya kalau ada yang masih batali darah maka sebutannya sako Datuak utuh misalnya Dt. Bandaro, kalau jatuhnya kepada batali adapt maka sebutannya Dt. Bandaro nan kuniang (kuniang dek baralek), kalau jatuhnya kepada batali budi maka sebutannya Dt. Bandaro nan hitam (dek badamai) atau Datuak bandaro nan putiah (dek bakarelaan), tetapi kalau jatuhnya kepada kemenakan batli ameh perak maka biasanya disebut Dt. Bandaro nan kayo (kayo dek ameh perak), hal ini pewarisan ini terjadi biasanya kaalu adapt nan diadatkan dalam suatu nagari itu adalah adapt lareh nan bunta (adapt bodi caniago). Kalau adapt disuatu nagari itu adalah koto piliang atau lareh nan gadang maka kalau tidak ada lagi yang bertali darah, maka tidak dapat diwarisi lagi, dihanyutkan.
            Konon kabarnya dinagari-nagari dengan sistem kelarasan yang tertuapun yang kita sebut dengan lareh nan panjang hal ini juga tidak dapat diwarisi lagi. Akan tetapi pada sistem kelarasan lareh nan bunta maka hal ini dapat diwarisi dengan urutan batali darah, batali adat, batali budi dan batali ameh jo perak.
            Tentang “pusako” atau pisako, adalahg harta dalam hal ini termasuk tanah, air, dan alam lainnya. Didalam komunitas masyarakat minangkabau semua harta termasuk gunung dan rimba belantarapun semuanya terbagi habis, hal ini dap[at kita dengar ungkapan minangkabau yang berbunyi “sahalai rumpuik, sabingka tanah, sebuah capo” dinagari ko ado nan punyo,”hak bamiliak, barato punyo.
            Tentang pusako ada dua macam yaitu pusako randah ialah harta yang cara memperolehnya mungkin saja jual beli yang jelas siapa penjual, dan siapa pembeli, atau dalam bahasa minang,”dapek dek ameh perak”, biasanya harta ini adalah akibat pencarian kehidupan pasangan suami istri, harta ini tetap pewarisnya sesuai dengan garis keibuan sesuai sistim matrilineal yang berlaku di minangkabau, kalau misalnya seorang ayah mewariskan kepada seorang anaknya yang laki-laki, maka anaknya ini akan memberikan hak miliknya kepada adiknya yang perempuan dan kalau tidak terdesak oleh kehidupan biasanya anak laki-laki ini tidak akan mengganggu gugat pemberian bapaknya ini, kalau terpaksa adik perempuannya ini (kalau bersuami) yang mengatasi kesulitan kakak laki-lakinya itu.
            Yang kedua adalah harta pusako tinggi yaitu harta yang tidak dapat diketahui lagi cara memperolehnya oleh kaum itu akan tetapi sudah diwarisi turun menurun. Harta pusako tinggi ini bukanlah milik pribadi-pribadi, akan tetapi disebut dengan “ulayat suku”, ulayat payuang (kampuang), ulayat paruik, dan ganggam bauntuak kaum dinagari, maka sering inilah yang disebut dengan “ulayat dinagari” jadi bukanlah ulayat nagari.
            Harta pusako tinggi inilah yang tidak dapat diperjual belikan, juga tidak dapat digadaikan, akan tetapi dapat dipakai dalam jangka waktu atau disewakan, dan semuanya memakai sistim ke minangkabau “adapt dipakai limbago dituang, alua dituruik, undang dilukih “harta pusako tinggi ini otoritas penguasaan berada ditangan ninik mamak (Datuak), sementara ganggam bauntuak, artinya pusako tinggi yang diperhakkan untuk sebuah jurai kaum dalam jangka waktu, misalnya kalau jangka waktu itu adalah untuk selama-lamanya disebut dalam bahasa adapt “salamo kuciang mangeong atau salamo hariamu balang”, kalau diperuntukkan hanya seumur kaumitu disebut “salamo hiduik atau salamo seseorang itu belum mendapat pencarian dalam bentuk lain”.
            Pada prinsipnya secara budaya sebuah harta pusako tinggi tidak dapat berpindah hak kepada pihak lain, tetapi kalau pihak lain itu sudah menjadi atau merupakan tali adapt dengan pemegang hak ulayat maka dapat berobah menjadi ganggam bauntuak.
            Demikianlah pada zaman lampau, misalnya ketika terjadi perang paderi tahun 1821-1837, banyak sekali tentara sentot didatangkan oleh pemerintah belanda untuk membantu belanda dalam melawan paderi, sampai akhirnya tuanku imam bonjol dibuang ke manado, maka tentara sentot itu tidak lagi pulang ke negrinya, ada yang berasal dari jawa tengah, ada berasal dari jawa barat, mereka itu dijadikan kemenakan dalam nagari, diberi suku dan diberi sawah setumpak, atau peladangan dalan ganggam bauntuak, bukan hanya bekas anak buah sentot, buruh-buruh yang mengerjakan jalan raya Padang-Pekanbaru pun sekitar tahun 1900 an, ada dari nias dan sebagainya, maka mereka diberi suku dan bermamak dengan suku yang ada dinagari tersebut. Demikianlah caranya orang minang menerima dengan ikhlas para pendatang untuk dijadikan sebagai “dunsanak”. Inilah implikasi pemahaman adapt nan tigo pakaro “baso jo basi, siriah jo pinang, sambah manyambah”, artinya tidak ingin konflik tidak radikal dalam pituah minangkabau dikatakan “usak tak tasenseng dalam tak dapat di ajuak”.
            Pusako dalam artian ulayat di minangkabau pewarisnya sesuai dengan kaedah adapt yang berbunyi “sako turun temurun, pusako jawek bajawek”. Lalu bagaimana pemahaman “jawek” itu, disinilah kita lihat ada makna yang terkandung dalam menyebutkan nama suku di minangkabau, dan urutan ini adalah konfensi yang sangat bersifat intitif, umpamanya bagaimana urutan suku suku dalam kelompok suku nan anam (pitopang)yaitu jambak-pitopang, salo kutianyia, buluhkasok-banuhampu, artinya kalau suku jambak punah, maka pusakonya dijawek oleh suku pitopang, kalau suku pitopang punah, maka dijawek(diwariskan kepada) suku salo, kalau suku ini juga punah, maka dijawek oleh suku kutianyia, kalau punah pula suku ini maka di wariskan kepada suku buluh kasok, kalau suku ini juga punah maka diwariskan kepada suku banuhampu. Kalau kelompok suku “nan anam” ini semuanya punah, maka diwariskan kepada suku nan limo (melayu, bendang, kampai, mandahiliang, domo/panai), dan urutan pewarisnya pun berurutan dari melayu sampai Domo/panai.
            Kalau kelompok suku ke II ini juga punah maka dijawek oleh suku ke III (kelompok sembilan) yaitu urutannya meliputi Koto-piliang, tanjuang-payobada, sikumbang-picancang, simabua-sipisang. Selanjutnya kalau kelmpok ke III ini juga punah, maka diwariskan kepada kelompok suku keempat yaitu meliputi urutannya sebagai berikut : bodi-caniago, supanjang-sumagek, singkuang-mandaliko, balai mansiang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar