Dalam suatu nagari katakanlah suatu nagari
dalam sistim adatnya “koto piliang” atau yang kita sebut dengan lareh nan
gadang seperti yang kita jelaskan tadi selalu orang bertanya siapa kaampek suku
nagari ini, maka seorang ninik mamak yang memahami seluk beluk adapt dinagari
itu, akan memberikan jawaban : kaampek suku sembilan Dt. Sarumpun, kaampek suku
caniago adalah Dt. Paduko tuan, kaampek suku pitopang adalah Dt. Junjungan, dan
kaampek suku melayu adalah Dt. Sori marajo. Lalu kita akan tanyakan apakah
kaampek suku ini dipilih karena kepintarannya? Maka ninik mamak itupun lantang
menjawab bukanlah karena kepintarannya, dan ini adalah sako adapt. Selanjutnya
ninik mamak ini menguraikannya lagi, Dt. Sarumpun adalah pasak kunci nagari,
sedangkan Dt, junjungan adalah pasak kungkuang nagari, dan Dt. Sori marajo
adalah pasak jalujua nagari. Lalu ditanya lagi, apakah itu pasak kunci nagari,
maka beliau menjawab bahwa Dt sarumpun sebagai penghulu yang akan membuka balai
atau dengan pengertian lain yang akan membuka setiap musyawarah adapt dibalai
itu, sementara Dt. Panduko tuan adalah orang yang mengetahui tentang
sako(susunan kepenghuluan), serta yang maha tahu tentang pusako dalam artian
harta ulayat yang ada dalam nagari itu, kemudian Dt. Junjungan adalah yang akan
memelihara setiap undang kesepakatan yang dibuat dalam nagari itu menurut adapt
dan Dt. Sori marajo adalah berfungsi menjelaskan kepada ninik mamak andiko
tentang musywarah mufakat adapt yang diselenggarakan dinagari itu.
Lalu apa beda
kaampek suku dengan penghulu yang lain, maka ninik mamak yang mengetahui itu
menberi jawaban, bahwa Datuak kaampek suku itu memiliki “harato tagak”, serta
ninik mamak kaampek suku mempunyai perangkat seperti ada andiko manti, ada
mualim atau tuanku, ada Dubalangnya dan nama suraunya pun lengkap, seperti Dt.
Sarumpun mempunyai tuanku nan tuo, suraunya pun diberi nama “surau tuanku nan
mudo”, Dt. Sori marajo mempunyai tuanku nan elok, suraunya pun mempunyai nama
tuanku nan elok. Oleh karenanya kaampek suku itu bukanlah karena kepintarannya,
atau oleh kepemimpinannya akan tetapi adalah sako adapt yang turun temurun.
Berdasarkan hal itulah “penghulu”adalah sebutan untuk menyimpan nilai-nilai
kearifan, hal inilah makna dari “penghulu nan babudi artinya manabang indak
rabah, mamancuang indak putuih” inilah yang disebut “kato pusako”, pada
dasarnya sebutan manti, sebutan Dubalang, dan mualim semuanya adalah perangkat
sistim adapt, pada umumnya semuanya ada yang bergelar Datuk, tetapi dibeberapa
daerah ada yang tidak mencantumkan Datuk didepan gelarnya dan sakonya.
Jadi manti adalah
orang pintar atau disebut orang cerdik cendikia(cadiak candokio). Fungsinya
dalam suatu sistim adapt adalah melakukan studi dan siasat dalam artian mencari
alas an-alasan pembenaran secara akal sehat atau ynag sekarang disebut dengan
kecerdasan sosial, manti mencari kebenaran sesuatu hal melakukan musyawarah
dengan pihak-pihak terkait dengan menggunakan dasar musyawarah dan mufakat
dengan arif dan bijak, maka dalam adagium adapt minangkabau, kato manti adalah
“Kato Mufakat”.
Disisi lain tentang mualim
adalah orang yang tahu tentang ilmu baik itu adapt dan lain-lainnya, dan salah
satu tanda orang berilmu, adalah setiap pembicaraannya terukur dengan dalil,
aksioma maka disebut dalam adagium adapt bahwa kato mualim “Kato Badalalat”.
Dubalang sendiri
konon kabarnya berasal dari bahasa tamil yang artinya adalah orang cerdik
pandai, yang maha tahu tentang kemungkinan dan keputusan suatu hal yang sedang
berlaku atau kalaulah kita terjemahkan mungkin itu adalah hasil berfikir
Rasional, dan patut itu adalah kerangka berfikir empiric. Jadi dengan
demikianyang disebut kualitas sumber daya manusia minangkabau adalah manusia
yang mempunyai Budi, Berakal, Berilmu, dan memahami Mungkin dan patut, dalam
artian lain keempat hal ini (Budi, akal, ilmu, mungkin dan patut) adalah nilai
dasar adapt minangkabau yang terbentuk sejak manusia minangkabau itu ada,
kalulah kita katakan bahwa keempat itu boleh disebut dengan Taksonomi
minangkabau (efektif domain/Budi, Emotional Quotion/akal, ilmu/Rational
Quotion, mungkin (Rasional, dan patut/empirik).keempat nilai-nilai dasar inilah
yang sangat cocok dengan dasar syarak yang juga mempunyai jumlah yang empat
buah yaitu : hakekat, tharikat, makrifat, dan syariat. Dengan demikian
pemahaman “adapt basandi jo syarak, syarak basandi jo kitabullah “ artinya yang
sesungguhnya adalah hanya islamlah yang dapat memperkokoh adapt minangkabau.
Analogi nilai nilai
dasar yang berjumlah empat inil, merupakan dasar terminologi lambing manusia
minangkabau, artinya seorang minangkabau harus tahu dengan yang empat berawal
kenal dengan air, api, angin dan tanah, memahami “ kato nan ampek” yaitu kato
pusako, kato mufakat, kato badalalat, kato mahimbau.
Indikasi ini
terlihat manakala dua orang berbeda pendapat mengadu kepada seorang penghulu
untuk menyelesaikan perkaranya, maka sang datuk tadi memberi jawaban agar
persoalan kalian diselesaikan secara damai, ungkapan penghulu secara
kalasaiknya “cari sajalah nan elok”, yaitu definisinya katuju dek awak dan
lamak dek urang lain, artinya jangan sebuah keputusan penyelesaian ada bahagian
yang dirugikan dan adapula bahgian yang dimenangkan. Sebagai ilustrasi, dapat
kita lihat misalnya ada perkara antara dua anak kemenakan lalu mengadu kepada
dubalang, maka dubalang mengatakan bahwa tudak mungkin kalian berdua berselisih
paham atau berkelahi oleh karena antara kalian berdua “Ba Bako dan Ba Babaki”
artinya saling terkait hubungan famili, atau misalnya kedua insan yang
berlainan jenis, yang hubungannya sudah sangat dekat katakanlah dengan istilah
sekarang berpacaran, lalu dinasehati oleh dubalang, maka dubalang adat
mengatakan bahwa tidak mungkin kalian meneruskan hubungan oleh karena kalian
satu suku, dan kalau kalian teruskan juga mungkin saja ninik mamak kalian akan
terutang kepada nagari, dalam hal ini terhutang kepada nagari adalah salah satu
sanksi undang adapt dalam nagari, yang kita sebut dengan adapt nan teradat.
Lalu ada lagi dua kelompok yang saling mengadu kepada dubalang adapt, dimana
suatu kelompok kehilangan barang dagangannya, maka dubalang berkata patut untuk
dikadukan kepada polisi, inilah arti dubalang yang tahu meletakkan mungkin dan
patut.
Kita telah singgung
diatas tentang apa itu “adapt” kalau kita tanyakan kepada ninik mamak,
katakanlah seorang “datuk”, maka datuk menjawab : adapt itu ada “ampek pakaro”,
nan pertamo adalah baso jo basi, nan kaduo sambah manyambah, nan katigo siriah
jo pinang dan nan kaampek adalah alue nan baturuk “kalimat jawaban ini belum
selesai seperti itu, akan tetapi dilanjutkan dengan “adat tapakai, undang
talukih, limbago tatuang, alua taturuik, syarak talazimkan.
Dalam wujud
pemahamannya bahwa adapt itu adalah alat komunikasi dengan orang lain secara harmonis dengan
meletakkan dasar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan rusaknya hubungan
antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya, adapt suatu bacaan, akan tetapi
terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Undang talukih, artinya tergambar dalam
bentuk lambing fisik tentang hubungan atau jalan adapt satu dengan kelompok
dengan kelompok lainnya.
Kita ketahui
bersama hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam tatanan
masyarakat minangkabau ada 4 bahagian yaitu “batali darah, batali adapt, batali
budi dan batali ameh jo perak. Batali darah adalah sesuai dengan silsilah
keturunan menurut garis ke ibuan (matrilineal), semetara batali adapt, adapt
dua hal : pertama adalah batali sako artinya sama-sama mengakui bahwa
penghulunya misalnya Dt. Bandaro tetapi bagaimana gambaran silsilahnya tidak
dapat diketahui lagi oleh karena sudah sangat panjang sekali, yang kedua adalah
batali pusako yaitu sawahnya saling berdekatan, ladangnya saling berdekatan,
tanjungnya saling bersekatan.
Yang ketiga batali
budi, jelas kelompok ini dijadikan dunsanak oleh kelompok yang menerima dan
dikukuhkan dengan ritualis adapt, misalnya diberi setumpak sawah atau lading,
akan tetapi kelompok yang memberi lading itu harus menjadi “mamak” dari
kelompok yang diberi lading, dan mereka diberi nama suku sama dengan suku yang
memberi harta tadi.
Yang keempat adalah
batali ameh perak, pengertian batali menurut ninik mamak adalah diberi suku
dulu sesuai dengan suku asal si penerima, kemudian baru si pendatang itu
diadakan upacara manarimo kamanakan artinya menjadikan orang tadi sebagai
kemenakan, setelah itu barualah terjadi proses tukar menukar atau imbal jasa,
mungkin juga jual beli tanah, sawah dan harta lain tadi.
Ameh perak adalah
lambang surat
berharga seperti uang yang terhitung, atau emas yang berbungkal. Atau perak nan
bertahil, lalu disebutkan bahwa harta yang diberikan sebagai imbal jasa tadi
dikatakan gamgam bauntuak.
Jadi jual beli
dalam bahasa dan adapt minangkabau adalah “ameh perak” maka dikatakan bahwa
ganggam bauntuak itu dapat dibagi : ganggam bauntuak salamo harimau balang artinya dimliki
terus menerus, atau adapula ganggam bauntuak sakaturunan artinya satu generasi
(50 tahun), maka pengertian ganggam bauntuak adalah di ganggam dalam adapt dan
diuntuakkan dalam limbago atau kesepakatan kaum. Hal ini merupakan dasar adat
minangkabau dalam aspek “adapt nan diadatkan” atau dalam mewariskan sako Datuak
yang turun menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar