Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Sabtu, 24 Desember 2011

JABATAN ADAT


             Dalam suatu nagari katakanlah suatu nagari dalam sistim adatnya “koto piliang” atau yang kita sebut dengan lareh nan gadang seperti yang kita jelaskan tadi selalu orang bertanya siapa kaampek suku nagari ini, maka seorang ninik mamak yang memahami seluk beluk adapt dinagari itu, akan memberikan jawaban : kaampek suku sembilan Dt. Sarumpun, kaampek suku caniago adalah Dt. Paduko tuan, kaampek suku pitopang adalah Dt. Junjungan, dan kaampek suku melayu adalah Dt. Sori marajo. Lalu kita akan tanyakan apakah kaampek suku ini dipilih karena kepintarannya? Maka ninik mamak itupun lantang menjawab bukanlah karena kepintarannya, dan ini adalah sako adapt. Selanjutnya ninik mamak ini menguraikannya lagi, Dt. Sarumpun adalah pasak kunci nagari, sedangkan Dt, junjungan adalah pasak kungkuang nagari, dan Dt. Sori marajo adalah pasak jalujua nagari. Lalu ditanya lagi, apakah itu pasak kunci nagari, maka beliau menjawab bahwa Dt sarumpun sebagai penghulu yang akan membuka balai atau dengan pengertian lain yang akan membuka setiap musyawarah adapt dibalai itu, sementara Dt. Panduko tuan adalah orang yang mengetahui tentang sako(susunan kepenghuluan), serta yang maha tahu tentang pusako dalam artian harta ulayat yang ada dalam nagari itu, kemudian Dt. Junjungan adalah yang akan memelihara setiap undang kesepakatan yang dibuat dalam nagari itu menurut adapt dan Dt. Sori marajo adalah berfungsi menjelaskan kepada ninik mamak andiko tentang musywarah mufakat adapt yang diselenggarakan dinagari itu.
            Lalu apa beda kaampek suku dengan penghulu yang lain, maka ninik mamak yang mengetahui itu menberi jawaban, bahwa Datuak kaampek suku itu memiliki “harato tagak”, serta ninik mamak kaampek suku mempunyai perangkat seperti ada andiko manti, ada mualim atau tuanku, ada Dubalangnya dan nama suraunya pun lengkap, seperti Dt. Sarumpun mempunyai tuanku nan tuo, suraunya pun diberi nama “surau tuanku nan mudo”, Dt. Sori marajo mempunyai tuanku nan elok, suraunya pun mempunyai nama tuanku nan elok. Oleh karenanya kaampek suku itu bukanlah karena kepintarannya, atau oleh kepemimpinannya akan tetapi adalah sako adapt yang turun temurun. Berdasarkan hal itulah “penghulu”adalah sebutan untuk menyimpan nilai-nilai kearifan, hal inilah makna dari “penghulu nan babudi artinya manabang indak rabah, mamancuang indak putuih” inilah yang disebut “kato pusako”, pada dasarnya sebutan manti, sebutan Dubalang, dan mualim semuanya adalah perangkat sistim adapt, pada umumnya semuanya ada yang bergelar Datuk, tetapi dibeberapa daerah ada yang tidak mencantumkan Datuk didepan gelarnya dan sakonya.
            Jadi manti adalah orang pintar atau disebut orang cerdik cendikia(cadiak candokio). Fungsinya dalam suatu sistim adapt adalah melakukan studi dan siasat dalam artian mencari alas an-alasan pembenaran secara akal sehat atau ynag sekarang disebut dengan kecerdasan sosial, manti mencari kebenaran sesuatu hal melakukan musyawarah dengan pihak-pihak terkait dengan menggunakan dasar musyawarah dan mufakat dengan arif dan bijak, maka dalam adagium adapt minangkabau, kato manti adalah “Kato Mufakat”.
            Disisi lain tentang mualim adalah orang yang tahu tentang ilmu baik itu adapt dan lain-lainnya, dan salah satu tanda orang berilmu, adalah setiap pembicaraannya terukur dengan dalil, aksioma maka disebut dalam adagium adapt bahwa kato mualim “Kato Badalalat”.
            Dubalang sendiri konon kabarnya berasal dari bahasa tamil yang artinya adalah orang cerdik pandai, yang maha tahu tentang kemungkinan dan keputusan suatu hal yang sedang berlaku atau kalaulah kita terjemahkan mungkin itu adalah hasil berfikir Rasional, dan patut itu adalah kerangka berfikir empiric. Jadi dengan demikianyang disebut kualitas sumber daya manusia minangkabau adalah manusia yang mempunyai Budi, Berakal, Berilmu, dan memahami Mungkin dan patut, dalam artian lain keempat hal ini (Budi, akal, ilmu, mungkin dan patut) adalah nilai dasar adapt minangkabau yang terbentuk sejak manusia minangkabau itu ada, kalulah kita katakan bahwa keempat itu boleh disebut dengan Taksonomi minangkabau (efektif domain/Budi, Emotional Quotion/akal, ilmu/Rational Quotion, mungkin (Rasional, dan patut/empirik).keempat nilai-nilai dasar inilah yang sangat cocok dengan dasar syarak yang juga mempunyai jumlah yang empat buah yaitu : hakekat, tharikat, makrifat, dan syariat. Dengan demikian pemahaman “adapt basandi jo syarak, syarak basandi jo kitabullah “ artinya yang sesungguhnya adalah hanya islamlah yang dapat memperkokoh adapt minangkabau.
            Analogi nilai nilai dasar yang berjumlah empat inil, merupakan dasar terminologi lambing manusia minangkabau, artinya seorang minangkabau harus tahu dengan yang empat berawal kenal dengan air, api, angin dan tanah, memahami “ kato nan ampek” yaitu kato pusako, kato mufakat, kato badalalat, kato mahimbau.
            Indikasi ini terlihat manakala dua orang berbeda pendapat mengadu kepada seorang penghulu untuk menyelesaikan perkaranya, maka sang datuk tadi memberi jawaban agar persoalan kalian diselesaikan secara damai, ungkapan penghulu secara kalasaiknya “cari sajalah nan elok”, yaitu definisinya katuju dek awak dan lamak dek urang lain, artinya jangan sebuah keputusan penyelesaian ada bahagian yang dirugikan dan adapula bahgian yang dimenangkan. Sebagai ilustrasi, dapat kita lihat misalnya ada perkara antara dua anak kemenakan lalu mengadu kepada dubalang, maka dubalang mengatakan bahwa tudak mungkin kalian berdua berselisih paham atau berkelahi oleh karena antara kalian berdua “Ba Bako dan Ba Babaki” artinya saling terkait hubungan famili, atau misalnya kedua insan yang berlainan jenis, yang hubungannya sudah sangat dekat katakanlah dengan istilah sekarang berpacaran, lalu dinasehati oleh dubalang, maka dubalang adat mengatakan bahwa tidak mungkin kalian meneruskan hubungan oleh karena kalian satu suku, dan kalau kalian teruskan juga mungkin saja ninik mamak kalian akan terutang kepada nagari, dalam hal ini terhutang kepada nagari adalah salah satu sanksi undang adapt dalam nagari, yang kita sebut dengan adapt nan teradat. Lalu ada lagi dua kelompok yang saling mengadu kepada dubalang adapt, dimana suatu kelompok kehilangan barang dagangannya, maka dubalang berkata patut untuk dikadukan kepada polisi, inilah arti dubalang yang tahu meletakkan mungkin dan patut.
            Kita telah singgung diatas tentang apa itu “adapt” kalau kita tanyakan kepada ninik mamak, katakanlah seorang “datuk”, maka datuk menjawab : adapt itu ada “ampek pakaro”, nan pertamo adalah baso jo basi, nan kaduo sambah manyambah, nan katigo siriah jo pinang dan nan kaampek adalah alue nan baturuk “kalimat jawaban ini belum selesai seperti itu, akan tetapi dilanjutkan dengan “adat tapakai, undang talukih, limbago tatuang, alua taturuik, syarak talazimkan.
            Dalam wujud pemahamannya bahwa adapt itu adalah alat komunikasi  dengan orang lain secara harmonis dengan meletakkan dasar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan rusaknya hubungan antara satu dengan lainnya. Oleh karenanya, adapt suatu bacaan, akan tetapi terpakai dalam kehidupan sehari-hari. Undang talukih, artinya tergambar dalam bentuk lambing fisik tentang hubungan atau jalan adapt satu dengan kelompok dengan kelompok lainnya.
            Kita ketahui bersama hubungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam tatanan masyarakat minangkabau ada 4 bahagian yaitu “batali darah, batali adapt, batali budi dan batali ameh jo perak. Batali darah adalah sesuai dengan silsilah keturunan menurut garis ke ibuan (matrilineal), semetara batali adapt, adapt dua hal : pertama adalah batali sako artinya sama-sama mengakui bahwa penghulunya misalnya Dt. Bandaro tetapi bagaimana gambaran silsilahnya tidak dapat diketahui lagi oleh karena sudah sangat panjang sekali, yang kedua adalah batali pusako yaitu sawahnya saling berdekatan, ladangnya saling berdekatan, tanjungnya saling bersekatan.
            Yang ketiga batali budi, jelas kelompok ini dijadikan dunsanak oleh kelompok yang menerima dan dikukuhkan dengan ritualis adapt, misalnya diberi setumpak sawah atau lading, akan tetapi kelompok yang memberi lading itu harus menjadi “mamak” dari kelompok yang diberi lading, dan mereka diberi nama suku sama dengan suku yang memberi harta tadi.
            Yang keempat adalah batali ameh perak, pengertian batali menurut ninik mamak adalah diberi suku dulu sesuai dengan suku asal si penerima, kemudian baru si pendatang itu diadakan upacara manarimo kamanakan artinya menjadikan orang tadi sebagai kemenakan, setelah itu barualah terjadi proses tukar menukar atau imbal jasa, mungkin juga jual beli tanah, sawah dan harta lain tadi.
            Ameh perak adalah lambang surat berharga seperti uang yang terhitung, atau emas yang berbungkal. Atau perak nan bertahil, lalu disebutkan bahwa harta yang diberikan sebagai imbal jasa tadi dikatakan gamgam bauntuak.
            Jadi jual beli dalam bahasa dan adapt minangkabau adalah “ameh perak” maka dikatakan bahwa ganggam bauntuak itu dapat dibagi : ganggam  bauntuak salamo harimau balang artinya dimliki terus menerus, atau adapula ganggam bauntuak sakaturunan artinya satu generasi (50 tahun), maka pengertian ganggam bauntuak adalah di ganggam dalam adapt dan diuntuakkan dalam limbago atau kesepakatan kaum. Hal ini merupakan dasar adat minangkabau dalam aspek “adapt nan diadatkan” atau dalam mewariskan sako Datuak yang turun menurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar