Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Kamis, 11 Agustus 2011

ARTIKEL YANG TELAH DITERBITKAN OLEH MEDIA CETAK JAKARTA


PERLUNYA NASKAH AKADEMIK DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN DAERAH

Mungkin anda menonton “ Jakarta Lawyer Club “ talk show yang digelar TV One Selasa malam (12/7) dengan pokok pembahasan kasus Prita dan Iped dengan peserta orang orang hebat di negara ini, mulai dari pakar hukum, pejabat pemerintah , anggota DPR sampai tersangka dalam kasus tersebut. “Core” dari pembahasan itu adalah masalah kebijakan pemerintah atau yang lebih dikenal dengan Undang- undang untuk tingkat pusat dan peraturan daerah untuk tingkat daerah, sedangkan untuk kebijakan presiden  adalah peraturan presiden dan keputusan presiden, untuk bupati adalah peraturan bupati dan keputusan bupati.
Mungkin anda juga pernah membaca di media massa atau mengikuti perkembangan kepemimpinan dr. Alis Marajo Dt. Sori Marajo Bupati Kab. Lima Puluh Kota yang sampai saat ini sudah memasuki hari yang ke-245 menjabat sebagai Bupati Lima Puluh Kota.
Jika disimak pembahasan talk show tersebut, dan pola kepemimpinan Alis Marajo Dt. Sori Marajo memimpin Kabupaten Lima Puluh Kota, nampaknya ada kesamaaan pola pandang dalam melihat suatu  benang merah dalam hal pembuatan suatu kebijakan pemerintah dan daerah.
Begitu bobroknya masalah aturan hukum di negara kita ini,  karena kurangnya koordinasi antara departemen dalam mengodok suatu produk hukum yang namanya undang-undang itu. Kalau hal ini tidak disikapi pemerintah, “ maka akan banyak orang masuk penjara”, begitu kata Karni Ilyas Presiden Jakarta Lawyer Club. Ini terindikasi dari ditetapkannya Prita sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Tengerang Banten serta juga pernah dialami oleh Alis Marajo terkait masalah kebijakan bupati di akhir periode kepemimpinannya yang pertama.
Di sini, saya tidak membahas masalah kasus Prita atau Talk Show- nya Karni Ilyas di TV One serta apa yang dialami Alis Marajo, tetapi lebih kepada pola penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah. Dari beberapa contoh kasus tersebut terkuaklah betapa masih lemah dan belum menyentuhnya rasa keadilan dan azaz mamfaat bagi masyarakat serta kurangnya pemahaman dari para pembuat kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang katanya “ Indonesia adalah Negara Hukum”.
Dalam pembahasan masalah kebijakaan tersebut, ada kaitan yang sangat erat dengan pola penyusunan suatu kebijakan yang diterapkan oleh dr. Alis Marajo  Dt. Sori Marajo Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota periode 2010 – 2015,  dalam mereformasi kebijakan di daerah tersebut, karena masalah kebijakan daerah yang diterapkan di daerah Luak Nan Bungsu itu harus ada unsur-unsur nilai akademik dalam menyusun kebijakan daerah termasuk kebijakan bupatinya.
Dalam menyusun kebijakan daerah, Alis Marajo selalu  menekankan untuk berpedoman pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.(ceramah Alis Marajo Dt Sori Marajo pada Diklatpim III Depdagri Regional Bukittinggi selasa 27/4 – red). Dimana yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut adalah mengenai keterlibatan pihak lain di luar lembaga legislatif dan eksekutif dalam penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini disebut dengan partisipasi masyarakat.
Memang benar, dimana dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itu menyebutkan :
”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah.”
Tapi, sebagai bahan “acuan” kepentingan penyusunan naskah akademik ini dapat mengacu pada Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Di dalam Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan bahwa :
”Pemrakarsa dalam menyusun rancangan undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang”
Kemudian pada ayat 2 Perpres Nomor 68 Tahun 2005 disebutkan :
”Penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu.”
Dalam proses penyusunan rancangan peraturan daerah, keberadaan naskah akademik ini sering dipertanyakan dan dipandang perlu untuk menentukan arahan pelaksanaan peraturan yang akan ditetapkan atau akan disepakati bersama. Adapun definisi dan isi naskah akademik ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2005 sebagai berikut :
”Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang.”
Aturan Dalam Menyusun Kebijakan
Didalam menyusun kebijakan harus dengan prinsip peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah :
a.    Dasar Peraturan Perundang-Undangan selalu Peraturan Perundang-Undangan.
b.    Hanya Peraturan Perundang-Undangan tertentu saja yang dapat dijadikan Landasan Yuridis.
c.    Peraturan Perundang-Undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi.
d.    Peraturan Perundang-Undangan baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan Lama.
e.    Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah.
f.     Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum.
g.    Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya berbeda.

 

Sementara asas dari pembentukan peraturan perundang undangan adalah :
a. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik yaitu meliputi:
1)   Kejelasan tujuan;
2)   Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3)   Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4)   Dapat dilaksanakan;
5)   Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)   Kejelasan rumusan;
7)   Keterbukaan.
b. Asas Materil
Materi Peraturan Perundang-Undangan mengandung asas:
1)        Pengayoman;
2)        Kemanusiaan;
3)        Kebangsaan;
4)        Kekeluargaan;
5)        Kenusantaraan;
6)        Kebhinnekatunggalikaan;
7)        Keadilan yang merata;
8)        Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9)        Ketertiban dan kepastian hukum;
10)    Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Asas Pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan
Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yakni :
1.    Asas yuridis
2.    Asas filosofis
3.    Asas sosiologis.

Teknik penyusunan Peraturan Perundang-Undangan merupakan hal lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan, namun menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-Undangan.


Sementara itu, “ jika ditinjau secara karakteristik suatu daerah”, kata Alis Marajo waktu itu,  maka dalam menyususun suatu kebijakan daerah, perlu diperhatikan 4 (empat) nilai dasar, baik secara akademik , agama dan  budaya, diantaranya :



NO


Nilai Dasar Akademik

Nilai Dasar Islam

Nilai Dasar Adat/budaya
1.
Bahasa
Hakekat
Budi
2.
Logika
Tharekat/Tasauf
Akal
3.
Matematika
Syariat
Ilmu
4.
Statistik
Makrifat
Mungkin/Patut
Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang Undangan
Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3.    Peraturan Pemerintah;
4.    Peraturan Presiden;
5.    Peraturan Daerah.

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
1.    Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;
2.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3.    Peraturan Desa/Nagari/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa/nagari  atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa/nagari atau nama lainnya.
4.    Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur;

Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berikut diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut.
a.  Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi, hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan Negara.
Hal yang sama juga diterapkan didalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis bagi bangsa Indonesia.
b. Undang-Undang
Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :
1.      Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3.      Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4.      Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah
Undang-Undang yang sudah ada;
5.      Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6.      Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan
orang banyak.


c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini (setara Undang-Undang) merupakan kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan:
1.    Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang 
berikut;
2.    Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
mengadakan perubahan;
3.    Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa". Dalam praktik "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" diartikan secara luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman, tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak. Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai "kegentingan yang memaksa" adalah Presiden. Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan perubahan.
d. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
1.      Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang induknya.
2.      Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-     Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
3.      Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan undang- undang induknya.
4.    Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-undang yang
bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah tersebut untuk melaksanakan Undang-undang
5.      Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang Dasar 1945  atau TAP MPR.
e. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah. Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk  Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai retribusi.
g. Peraturan Perundang-Undangan Lain
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
KESIMPULAN

1.      Melihat karakteristik suatu daerah dan terbukanya peluang bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap kebijakan terutama kebijakan daerah serta adanya Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Nomor G-159.PR.09.10 tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan, maka untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta dipenuhinya rasa keadilan dan azaz mamfaaat diperlukan naskah akademik dalam menyusun kebijakan pemerintah terutama kebijakan di daerah kab/kota yang seiring dengan semangat otonomi.

2.      Karena dalam menyusun suatu kebijakan tersebut memerlukan suatu kajian dan penelitian dengan mengacu pada aturan yang lebih tinggi, maka dituntut seorang birokrasi atau pegawai negeri sipil memiliki analisa akademisi atau sarjana yang membidanginya.



Penulis adalah Ali Hasan, S.Sos  Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kab Lima Puluh Kota.
HP. 081266557505





Tidak ada komentar:

Posting Komentar