Menjadi yang terbaik merupakan amanah yang harus dilakukan dalam hidup dan kehidupan seorang manusia karena kita dilahirkan memang untuk jadi yang terbaik oleh Allah SWT yakni sebagai kalifah di muka bumi ini serta paling sempurna dari sekian banyak makluk ciptaan Allah. Maka Jadilah yang terbaik.......YES...

Kamis, 11 Agustus 2011

BENTENG TUANKU NAN GARANG



I.Benteng ( orang Minang menyebutnya “Kubu” )
 pertahanan Pideri yang dibangun oleh para Panglima Perang Pasukan Pideri yang dipanggil Tuanku ; hampir diseluruh wilayah  yang dipertahankan para Tuanku di temukan kubu pertahanan. Di Luak Limo Puluh Kota  hampir disepanjang aliran Batang Sinamar yang dipertahankan Pemimpin Pideri di temukan kubu-kubu pertahanan. Seperti kubu pertahanan Tuanku Nan Biru; Parit-parit dan kubu ( tanah yang ditinggikan) melintasi daerah Kecamatan Suliki, mulai dari Ekor Parit Limbanang; Kecamatan Guguak dan Kecamatan Mungka, dan Kubu Godang di Taeh Baruah Kecamatan Payakumbuh. Mulai Dari Padang Japang terus ke Guguak –Dangung-Dangung; Dari Koto Kociak terus ke Kubang dan Mudiak Liki. Oleh masyarakat parit-parit tersebut disebutnya Benteng Tuanku Nan Biru.

Kubu ( tanah yang ditinggikan ) berbentuk tidak beraturan, mengikuti kontur alami tanah, lebarnya lebih kurang lima meter dan tinggi sekitar tiga meter, disebut Parik Godang di Padang Japang. Pada lapisan yang kedua adalah parit  Parik Dalam; seperti ditemukan di, batas Koto Kociak-Padang Japang ; Jopang dan Padang Jopang, serta Limbanang -Tanjuang Jati.  Kedalamnya 3-5 meter dialiri air; dan di dalamnya ditanam ranjau-kayu atau bambu yang di runcing hingga  susah dilewati. Pola benteng  pertahanan yang sama ditemukan pula di Tumasek (Singapura ); reruntuhan utamanya bisa ditemui di Stamford Road  sekarang;  dan ditemukan di pula Lobu Tua Barus, Pugungraharjo,  Nagarasaka, dan Bentengsari Lampung; di Jawa Barat di Banten,  Girang. *  Benteng Tuanku Nan Garang dibangun dengan system yang sama dengan itu, dikenal  dengan sebutan “ Kubu Aur Duri “; atau “Kubu Aur Baririk ‘; sebab di sekeliling kubu ditanami bambu berduri. Bangunan benteng ini sama konstruksinya benteng-benteng lainya. Benteng ini ditujukan  untuk melindungi wilayah Koto Tuo, Tigo Balai, Lubuk Batingkok, Taeh  dan Gurun serta Sarilomak dan Tanjung Pati; Bila kita berdiri di per-tapak-an benteng tersebut dari kaki Gunuang Bongsu bagian Selatan ternyata , memiliki 0wilayah sudut pandang yang luas mencakup 60 % wilayah Luak Limo Puluah Koto .Gelar atau panggilan Tuanku pada mulanya, adalah panggilan untuk pemimpin agama di dalam suku  menurut adat Minangkabau. Setiap suku di Minangkabau ada pemimpim agamanya atau Imam Adat. Yang dilengkapi dengan adanya “ surau suku “. Kemudian dipakai sebagai gelar atau panggilan  untuk para juru dakwah (Da’i) dan  panglima  perang  semasa Pideri.; seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai dan lain-lain. Diantara Tuanku yang populer di Luak Limo Puluah Koto, adalah Tuanku Nan Biru di Talago, Tuanku Lintau di Buo, Tuanku Nan Pahit di Air Tabik dan Tuanku Nan Garang di Koto Tuo.

Tuanku Nan Garang adalah kemenakan Datuk Pobo, hakim Adat di Koto Tangah Bungo Satangkai.



I I.Perang Paderi.
Perang Paderi yang berlangsung selama 16 tahun ( 1821-1837 ), berakhir setelah  pemimpinnya ditawan Belanda melalui penipuan; diajak berunding tetapi tanpa ada perundingan, yang ada adalah penangkapan. Kalau berperang Peto Syarif alias Imam Bonjol ini tak pernah terakalahkan oleh Belanda, sebab keuatan militernya sangat tangguh dan bersemangat jihad. Apalagi Imam Bonjol mendapat bantuan dri pihak Aceh yang mengirimkan orang-orang terlatih dari Aceh Pidie. Disamping itu Imam Bonjol unggul dengan pasukan berkuda (kavaleri) yang diperbantukan Turki yang mengirimkan perwiranya yang di Minangkabau dikenal dengan nama “Haji Piobang “

Sekalipun pihak Belanda telah diperkuat oleh Pasukan Sentot Alibasa Prawiradirja dan Tumenggung Notoprawiro, tentara Belanda tetap kewalahan menghadapi Paderi. Pada akhirnya Sentot Alibasa dan pasukannya berbalik melawan Balanda lantaran menyadari bahwa perjuangan para Tuanku yang berlandaskan syarak Islamiyah ditujukan untuk menantang penjajahan bangsa Belanda terhadap bangsanya sendiri. Pasukan Sentot akhirnya meleburkan diri menjadi Orang Minangkabau , sementara Sentot ditawan dan diasingkan Belanda. Istilah “Perang Paderi” bersumber dari sebutan Kaum Adat. Kaum adat menyebutkan  berperang melawan “Orang Pidie “, guna menghindari istilah memerangi para Imam, agar para “Imam Adat” setiap suku di Minang tidak tersinggung. Masyarakat Minang saat itu sudah menganut Islam, apalagi dibayangi tekanan pemimpin Wahabbi. Maka digambarkan bahwa orang Pidie adalah orang asing yang datang dari luar merusak Minangkabau;  yakni para “tentara bayaran” dari Aceh Pidie atau Aceh Pedir. Maka kaum Adat menyebutnya Perang dengan “Orang Pidie”. Para penulis Barat karena posisi pemimpin Kaum Putih ini, adalah pemimpin agama, imam, maka diidentifikasi-kan dengan “Paderi” dalam agama Nasrani. Perang Paderi digambarkan juga dengan perang “hitam-putih” Kaum Hitam ( Ninik Mamak berbaju adapt warna hitam ) melawan  Kaum Putih ( para Tuanku berbaju putih-putih ).Suasana Minangkabau pada masa perang Paderi ini, kacau –balau, Datuk penghulu pemangku adat banyak yang memihak Belanda, lantaran tindakan ulama wahabi yang keras dan kejam. Dilain pihak ada juga Datuk dan Imam Suku yang memihak Pideri. -Pada masa awal kedatangan tiga haji (aliran Wahabi) ini pihak kerajaan Minangkabau bersama  Datuk-datuk Penghulu pemangku Adat sudah menerima ajarannya. Namun kemudian akibat peng-amalan-nya yang terlalu keras dalam menerapkan larangan (haram menurut Islam ); sampai Tuanku Nan Renceh di Agam sampai membunuh adik ibunya (oncu), memakan sirih dan menyugi tembakau. Larangan main judi, menyabung ayam dan minum arak (tuak=minuman keras memabukan );  mendapat hukuman berat dari pemimpin Pideri, hingga menjatuhkan wibawa para Datuk Penghulu pemangku adat itu ditengah kaumnya. Ujungnya pihak kerajaan Minankabau atas dorongan Datuk-datuk penghulu pemangku adat menantang para Ulama ini. Pihak Paderai akhirnya melalukan pembunuhan keluarga raja Pagaruyuang dan pembakaran Istana. Akhirnya pihak kerajaan meminta bantuan dan aperlindunagan kepada Belanda.Awal tahun 1829, beberapa orang Tuanku pulang dari Tanah Arab , Makkah dengan membawa aliran baru yang lebih lunak, tidak sama dengan paham Wahabi yang dibawa Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang yang pulang dari Mekah tahun 1803.Mereka melakukan pendekatan, persuasive dan cara -cara yang lembut kepada kaum adat, hingga akhirnya tidak hanya kaum adat tetapi pengikut Wahabi pun banyak berubah haluan. Diantara para Tuanku itu tersebutlah, Tuanku Nan Biru, Tuanku Nan Pahit,  Tuanku Nan Garang dan Tuanku Ibrahim dari Luak Limo Puluah. Diantara  Tuanku ini ada hubungan bathin sesama pejuang Pideri; Para tuanku ini sesama penganut “ paham baru “ tidak penganut aliran keras seperti Wahabi yang diperankan ulama-ulama Pideri sebelumnya, seperti “ harimau nan salapan “ di Luak Agam.  Namun mereka sama-sama anti penjajahan dan ikut berjuang bersama Paderi.Tuanku Ibrahim disamping membawa Ilmu agama dari Makkah bersama-sama dengan  para Tuanku lainnya,  karena berbakat dan minat dagangnya melanjutkan missi “Paderi Baru“ lewat berdagang sehingga ia terkenal sebagai pedagang yang sukses.  Hasil tambang dan hasil Hutan di sekitar Gunung Mas serta bahan tambang dan hasil kebun rakyat yang biasa dibawanya ke Selat Malaka dikumpulkannya di sepanjang aliran Batang Sinamar, mulai dari kampuang asalnya di Sungai Naning . Sebaliknya disamping barang dagangan, ketika pulang ia membawa barang keperluan Pideri, berupa senjata dan amunisinya. Tuanku Ibrahim tidak mau berjualan dengan VOC ( Ulando ), ia memilih berhubungan dagang dengan Sipatokah ( Portugis) dan Anggarai (Inggris );  Ini mempengaruhi suasana perdagangan di masa itu disepanjang aliran Sungai –sungai besar di Sumbar, atau pelabuhan dagang di pantai Barat. Sementara itu  Tuanku Nan Garang berupaya membantu jalur pengiriman barang-barang itu; sambil keduanya terus mengembangkan da’wah Islamiyah yang moderat.Ketika krisis semakin memuncak antara Pideri dengan Belanda; Tuanku Nan Garang yang mengkoordinir pintu gerbang dagang Luak Limopuluah ke arah Timur melalui; Buluah Kasok, Lubuk Limpato, Sarilomak; sesuai perkembangan situasi persaingan antara Pideri dengan Belanda, Tuanku Nan Garang  mengkoordinir pasukan Paderi di wilayah itu serta membangun benteng pertahanan di bagian atas Koto Tuo, Lubuk Batingkok.

Ahmad Tunggal Terjebak  Perang Paderi.Dalam suasan puncak peperangan Paderi ini, anak Tuanku Ibrahim bernama Norma dan anaknya Ahmad Tunggal datang ke  Minangkabau dan terjebak dalam perang di Koto Tangah Lubuk Batingkok. Sementara itu Tuanku Ibrahim yang telah sukses dalam missi dagangnya.  Barang-barang  kebutuhan paderi berupa senjata dapat didatangkan Tuanku Ibrahim. Disamping itu ia juga dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan raja Siak, Tumasek dan termasuk Johor dan Negeri Sembilan. Hubungan baik dengan teman dagang itu , akhirnya malah ia menikahkan seorang puterinya dengan calon Raja yang akan naik Tachta di kerajaan Negeri Sembilan. Anak kandungnya Norma dari isterinya yang berasal dari Koto Tangah, Kec. Bukit Barisan Kab. Lima Puluh Kota dinikahkan dengan Tuanku Imam di SNegeri Sembilan . Perkawinan Yamtuan Imam dengan Norma ini melahirkan putera-putera; 1. Tengku Ahmad Tunggal. 2 . Tengku Cindai.3. Tengku Win, 4. Tengku Alam, 5. Tengku Jumaat.6. Tengku Ngaadin.Kenapa Norma bersama anaknya Ahmad Tunggal pulang ke Minangkabau ? Ada analisa yang mengatakan bahwa ; setelah datuknya Yamtuan Lenggang dijemput untuk menjadi Raja di Negeri Sembilan 1824 , di Pagaruyuang terjadi peristiwa berdarah; Pembunuhan semua keluarga kerajaan Pagaruyuang oleh pihak Paderi. Akibat peristiwa inilah Norma dan anaknya “pulang kampung”  Sementara itu alasan lainnya adalah ; sebagai seorang calon Raja di Negeri Sembilan, Norma dan Yamtuan Imam merasa perlu memperkenalkan Minangkabau kepada Ahmad Tunggal dan sekaligus meminta restu kepada Rajo Minangkabau dan para Datuk-Datuk penghulu negeri asalnya.

Norma bersama anaknya dan pengawalnya  datang ke Minangkabau  secara diam-diam dan tidak resmi guna memperkenalkan  tanah leluhurnya kepada  Ahmad Tunggal, lahir 17 Juni 1815  sebagai anak calon raja Yamtuan Imam di Negeri Sembilan. Norma bersama rombongan, selesai mengunjungi tanah asalnya,  ketika hendak pulang ke Negeri Sembilan  terjebak dalam pertempuran “basosoh” antara Pideri melawan Belanda, selama empat-empat malam mulai tanggal 19 Oktober 1832.

Setelah kembali dari Koto Tongah , Gunung Omeh dan  meninjau keadaan kerajaan Pagaruyuang di Tanah Datar ketika hendak pulang balik ke Negeri Sembilan, rombongan berjalan  melewati Sungai Potai dan Koto Rajo Ladang Loweh.   Sesuai pesan ayahandanya Tuanku Ibrahim agar Norma dan anaknya Ahmad Tunggal bertemu dulu dengan temannya Tuanku Nan Garang, di Tigo Balai , Koto Tongah Lubuk Batingkok. Tigo Balai terdiri dari Balai Patai, balai kaum Caniago dipimpin Dt. Majo Labiah, Balai Panjang sebagai balai kaum Jambak atau Pitopang yang dipimpin oleh Dt Paduko Tuan yang mempunyai hubungan balahan dengan Dt. Tumbi ( Jambak) di kenagarian Koto Tangah, Kecamatan Bukit Barisan. Balai ketiga di Tigo Balai tersebut adalah balai Mangklhudu dipimpin Dt Mangkuto Bosa dalam pesukuan Melayu. Ketiga balai tersebut adalah tempat memberlakukan aturan adapt, sehingga daerah Lubuk Batingkok itu disebut pula sebagai Tigo Batur.Kawasan Lubuak Batingkok, Tigo Batur, sejak tahun 1500-an, apalagi setelah Malaka jatuh tangan Portugis, menjadi tempat menampung hasil hutan untuk dibawa ke Malaka dan Kelang melalui pecan lama di Siak. Tetapi setelah Siak ditaklukan oleh Johor maka pedagang-pedagang Minangkabau membuat pangkalan dagangnya di hulu sungai Siak di Senapelan yang disebut “ Pakan Baru “ yang menjadi cikal bakal kota Pekan Baru sekarang.Berlainan halnya dengan Simalanggang dengan “Pakan Raba”(Pasar Rabu-nya ), adalah pusat perdagangan rempah-rempah yang diperdagangkan dengan VOC yang berpusat di Pulau Cingkuak melalui Padang. Belanda selalu membuat permusuhan dengan masyarakat Tigo Balai  melalui kaki tangannya  di Pakan Rabaa ( Simalanggang ) . Belanda sendiri belum pernah memasuki daerah Tigo Balai sampai tahun 1832. Di Koto Tongah Lubuak Batingkok, Tigo Batur, situasi semakin sulit. Sauasana semakin panas. Persiapan perang sudah di mulai. Sekalipun Norma dan Ahmad Tunggal yang termasuk kerabat kerajaan Pagaruyuang, yang didukung Belanda, ia dinasehatkan agar menyamar seperti rakyat biasa, lantaran ayahnya Tuanku Ibrahim, seorang pedagang yang tidak mau berhubungan dengan Belanda (VOC) dan sudah dikenal ia berpihak kepada Paderi.Sebelum bertemu Tuanku Nan Garang,  Norma dan Ahmad Tunggal serta rombongannya  ditahan oleh kaki tangan Belanda di Simalanggang. Setelah berita penahanan itu sampai pada Tuanku Nan Garang, dengan wibawa Tuanku Nan Garang yang  tinggi, mereka  dapat dibebaskan dan dibawa ke dalam kubu Aur Baduri. Dalam menghadapi Belanda ini Tuanku Nan Garang  mengulur waktu dengan mengajak Belanda berunding sementara persiapan dan gerak pasukannya menempati posisi siap tempur. Tawaran berunding itu langsung ditolak Belanda, lantaran sebelumnya guna memecah kekuatan Pideri Belanda sudah pernah pula meminta berunding; agar Tuanku Nan Garang tidak memerangi/memusuhi Belanda , tetapi sama-sama melindungi rakyat dari ancaman Pideri;  *  Tuanku Nan Garang meminta uang untuk membangun kekuatan pasukan untuk perlindungan rakyat. Residen Belanda Mac Gillavri yang khawatir terhadap stretegi Tuanku Nan Garang; pada waktunya ia akan melawan Belanda, ajakan berunding tersebut ditolaknya. Maka perang pun tidak terhindarkan lagi.Koto Tangah  dihujani Belanda dengan tembakan meriam dan peluru api, namun pintu pertahanan Tuanku Nan Garang tidak kunjung tembus. Setelah tiga hari, tentara Belanda banyak yang tewas  dilanda peluru Kaum Paderi. Belanda banyak masuk jebakan yang dibuat Tuanku Nan Garang. Setelah mendatangkan bantuan dengan pasukan yang lebih segar dari Payakumbuh Belanda baru berhasil menembus pertahanan berlapis di Kubu  Aur Duri tersebut. Perang basosoh dan perang tanding dengan pedang terhunus satu lawan satu terjadi. Pasukan Paderi berjihad sampai mati di sana. Setelah menembus kubu ( tanah yang ditinggikan ) , Belanda harus bersusah payah menyeberangi parit berisi ranjau yang digenangi air, di sinilah pasukan Belanda banyak tewas di tangan Paderi. Melihat pasukan Belanda sudah mendapat bantuan dari Payakumbuh. Tuanku Nan Garang melepaskan bentengnya dan menghindar ke arah Utara. Diberitakan bahwa Tuanku Nan Garang kemudian meninggal dalam suatu pertempuran melawasn Belanda di Air Baba , dekat Ikan Banyak , Pandam Gadang, ketika berupaya menahan laju pasukan Belanda yang hendak merebut Koto Tinggi dan mengepung Bonjol .  Namun tidak ada yang memastikan di mana kuburnya Tuanku Nan Garang tersebut.

Sementara itu diperoleh pula berita; bahwa ada Catatan British yang menyebut nama “Angki Bongsu” yang terlibat perang “Bukit Putus” tahun 1875 di Negeri Sembilan Malaysia. Mungkinkah Tuanku Nan Garang setelah perang di “Kubu Aur Duri” , langsung menghindar langsung ke tanah Semenanjung Negeri Sembilan, sambil mengantarkan anak dan cucu Tuanku Ibrahim ( temannya ) Norma dan Ahmad Tunggal ?  Setelah sampai di negeri Sembilan Tuanku Nan Garang yang membangun kubu di kaki Gunung Bongsu , menamakan dirinya “ Ongku Gunuang Bongsu “ ? tentu ahli sejarah yang bisa membuktikan.  Perang Bukit Putus adalah pertempuran antara pasukan Yamtuan Antah dengan pasukan British yang membantu Datuk Kelana Sungai Ujong. Ahmad Tunggal ikut pula membantu Datuk Kelana orang tempat ia merapatkan diri setelah tuntutannya untuk menjadi Yamtuan Seri Menanti.  Menurut catatan British (Inggris ) itu Ahmad Tunggal dan Angki Bongsu terlibat dalam “Perang Bukit Putus” pada bulan Desember 1875“Orang besar Melayu yang telah menolong Murray dan pihak British ialah Tengku Ahmad Tunggal yang tidak dapat menjadi Yamtuan Seri Menanti dan seorang lagi disebut namanya oleh pihak British “Angki Bongsu”;  tetapi tiadalah diketahui siapa orangnya “ demikian bunyi catatan British ( Inggris ). Orang yang berseberangan dengan Ahmad Tunggal dan menolaknya untuk menjadi  Yantuan Seri Menanti adalah Kahar, gelar Datuk Siamang Gagap. Adakah hubungan antara gelar Datuk Gagok di Kenagarian Siamang Bunyi  Kec. Akabiluru dengan Siamang Gagap Negeri Sembilan ini ? Patut juga ditelusuri. Siamang Gagap memang besar sekali pengaruhnya di Negeri Sembilan, ia bisa menolak seseorang yang hendak naik menjadi Yamtuan Seri Menanti. Disamping Ahmad Tunggal juga terhadap Tengku Muda Cik (putera Yamtuan Radin ) Nama lain yang pantas pula ditelusuri adalah Tengku Lintau, yang diminta menjadi Yamtuan Seri Menanti, tetapi ia menolaknya . Adakan hubungannya dengan nama Tuanku Lintau ( Paderi ) di Buo, Tanah Datar ?






Tidak ada komentar:

Posting Komentar